TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penetapan KKB sebagai Teroris Dinilai Bisa Ancam Keamanan Warga Papua

Pemerintah diminta cabut penetapan KKB sebagai teroris

Ilustrasi (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Jakarta, IDN Times - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat, penetapan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan organisasi yang berafiliasi di Papua sebagai Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) tidak tepat. Sebab, penetapan itu bisa berdampak serius bagi keamanan warga sipil di Papua.

"Berpotensi menyebabkan tingkat eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kian meningkat. Lebih dari itu, ELSAM juga berpandangan bahwa penetapan itu hanya akan memperkuat institutionalised racism politics tak terkecuali dalam penegakan hukum," kata Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar melalui keterangan tertulis, Sabtu (1/5/2021).

Baca Juga: KKB Dicap Teroris, Polri Siap Terjunkan Densus 88 ke Papua

1. Pemerintah tidak secara spesifik menyebutkan siapa kelompok yang dimaksud KKB

ANTARA FOTO/Iwan Adisaputra

Wahyudi menjelaskan, dalam penetapan itu pemerintah tidak secara spesifik menyebutkan siapa kelompok yang dimaksud dengan KKB. Namun, apabila merujuk pada pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo, jelas pihak yang disebut KKB adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Secara yuridis, pemerintah mendasarkan keputusannya ini pada ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

"Dalam pasal tersebut, 'politik' disebutkan sebagai salah satu motif yang membuat tindakan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional bisa disebut sebagai tindakan terorisme," katanya.

Menurutnya, melalui penggunaan pasal tersebut, pemerintah dinilai sedang mengerangkai aspirasi kemerdekaan rakyat Papua. Aspirasi tersebut sebagiannya memilih jalan perjuangan bersenjata, sebagai salah satu motif yang membuat aksi-aksi kekerasan yang juga turut menimpa sebagian sipil beberapa waktu belakangan sebagai aksi terorisme.

"Dalam diskursus akademik mengenai terorisme, pertimbangan memasukkan politik sebagai sebuah motif dari tindakan kekerasan memang telah membawa sebagian para ahli untuk melihat kemungkinan kelompok etno-nasionalisme separatisme, yang sepintas mirip dengan apa yang terjadi di Papua, sebagai tindakan terorisme." katanya.

2. Label teroris pada gerakan-gerakan politik biasa dilakukan oleh banyak negara secara serampangan

Ilustrasi polisi mengamankan barang bukti dari rumah terduga teroris.( ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Selanjutnya, Wahyudi mengatakan, penyematan label teroris terhadap gerakan-gerakan politik yang bertujuan meraih cita-cita kemerdekaan, justru dilakukan oleh banyak negara secara serampangan. Misalnya, tindakan pelabelan teroris terhadap gerakan kemerdekaan dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pemerintahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.

"Kala itu melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa GAM merupakan kelompok teroris yang perlu dilawan lewat cara-cara militer. Belajar dari apa yang telah terjadi di Aceh, pelabelan yang bertujuan untuk membasmi satu gerakan yang berakar pada aspirasi etno-nasionalis, hanya akan membawa dampak destruktif yang mengorbankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia," katanya.

3. Status terorisme terhadap TPNPB-OPM memiliki permasalahan dalam konteks hukum pidana

Ilustrasi teroris (IDN Times/Mardya Shakti)

Di luar permasalahan konseptual, Wahyudi menjelaskan bahwa penyematan status terorisme terhadap TPNPB-OPM ini juga memiliki permasalahan dalam konteks hukum pidana di Indonesia. Sebab etno-nasionalis separatisme dan terorisme, memiliki akar yang berbeda.

"Secara khusus, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia lahir pasca-Bom Bali 2002, dimana berkembang begitu massif religious-motivated terrorism, yang memiliki akar berbeda dengan hadirnya delik-delik keamanan negara sebagaimana diatur oleh KUHP, yang hadir lebih dulu. Bahkan secara khusus Gus Martin (2017), membedakan antara terorisme ideologis dengan terorisme agama, yang harus direspon secara berbeda pula dalam penanganannya," katanya.

"Tepat karena semangat itulah, pelabelan teroris kepada TPNPB-OPB melalui UU Terorisme tidak bisa dibenarkan karena akan memiliki implikasi serius pada pembungkaman seluruh ruang demokrasi dan penegakan HAM yang terkait dengan akar tuntutan kemerdekaan rakyat Papua," lanjutnya.

Baca Juga: [BREAKING] Mahfud: KKB Papua Masuk Kelompok Teroris

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya