TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Survei LSI: Demokrasi Bisa Mundur Karena Korupsi dan Intoleransi

Warga justru permisif terhadap perilaku korupsi

IDN Times/Angelia Nibennia Zega

Jakarta, IDN Times - 20 tahun sudah demokrasi berjalan pasca reformasi. Namun, apakah demokrasi benar-benar telah terwujud dengan adil dan utuh di Indonesia? Kenyataannya demokrasi bangsa kita masih "jalan di tempat". Lembaga Survei Indonesia (LSI) pun telah melakukan survei Persepsi Publik Tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi di Indonesia.

Disimpulkan bahwa terdapat 2 masalah yang dinilai berkontribusi pada kemunduran demokrasi, yaitu korupsi dan intoleransi. Kedua topik ini dirasa perlu dipahami, mengingat dalam kajian sebelumnya kedua topik ini sangat jarang dibahas. 

Rilis survei nasional itu diadakan pada Senin (24/9) di Hotel Sari Pan Pacific dan dihadiri oleh Burhanuddin Muhtadi (Peneliti Senior LSI), Adnan Topan Husodo (Koordinator Indonesia Corruption Watch), dan Yenny Wahid (Ketua The Wahid Foundation.)

Lalu, apa isi rilis tersebut?

Baca Juga: Angka Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Menurun

1. Kinerja presiden yang memimpin dan pemerintahan yang berjalan menentukan naik-turunnya kepuasan demokrasi

IDN Times/Angelia Nibennia Zega

Survei LSI ini dilakukan di bulan Agustus lalu. Hasilnya, ditemukan bahwa mayoritas warga puas dengan jalannya demokrasi di Indonesia. Prosentasenya bahkan mencapai 73 persen. 

Tingkat kepuasan tersebut terus menguat dalam waktu tiga tahun terakhir. Mayoritas warga juga berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik. Mereka juga setuju dengan kondisi kebebasan beragama di Indonesia dalam situasi yang baik. 

Burhanuddin, peneliti senior LSI, juga mengatakan rasa kepuasan masyarakat terhadap demokrasi itu bergantung pada kinerja presiden dan pemerintahan yang berjalan. 

"Tren kepuasan terhadap jalannya demokrasi itu cenderung naik per-lima tahun, apa lagi saat calon pemimpin seperti presiden, gubernur, dan walikota melakukan kampanye atau 'blusukan' turun ke masyarakat," kata Burhanuddin. 

2. Masyarakat justru menganggap korupsi di Indonesia meningkat karena banyaknya penangkapan

IDN Times/Angelia Nibennia Zega

Dalam survei LSI di tahun 2018, mayoritas warga merasa bahwa tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir. Namun, hasil survei juga menunjukkan bahwa mayoritas warga menilai pemerintah serius melawan korupsi.

Menanggapi hasil survei LSI, Koordinaror ICW, Adnan Topan Husodo, mengatakan bahwa peningkatan korupsi di sebuah negara tidak bisa diukur dengan banyaknya pelaku korupsi yang tertangkap. Justru karena penangkapan tersebut penegakan hukum semakin terlihat nyata.

"Lazimnya ada 2 mengapa masyarakat menganggap korupsi meningkat. Pertama, karena pengalaman mereka menjadi korban korupsi. Kedua, masyarakat melihat upaya penanganan korupsi seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan penetapan tersangka itu dianggap sebagai peningkatan korupsi." kata Adnan menjelaskan.

Pada survei  tersebut juga didapati data perilaku korup aparat negara atau pemerintahan dalam satu tahun terakhir. Responden ditanya apakah mereka pernah dimintai atau memberikan hadiah atau uang untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan di luar dari biaya resmi. Hasilnya, ditemukan bahwa tindak korupsi oleh pegawai pemerintahan paling besar terjadi ketika berurusan dengan polisi, pihak pengadilan di posisi kedua, dan posisi ketiga yaitu ketika mendaftar kerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Yang menarik, survei ini justru menunjukkan semakin sering individu menjadi korban, mengalami, atau melihat tindak korupsi aparat, maka semakin warga bersikap maklum terhadap praktik korupsi.

3. 'Keran' intoleransi di Indonesia sudah terbuka

IDN Times/Angelia Nibennia Zega

Sementara, survei LSI tahun 2018 mengenai intoleransi ini dibagi menjadi 2, intoleransi politik dan intoleransi religius-kultural. Ada 6 pertanyaan yang ditanyakan kepada responden Muslim dan non-Muslim, di antaranya:

  1. Apakah keberatan atau tidak jika orang (non-Muslim/Muslim) mengadakan acara keagaaman di daerah sekitar sini?
  2. Apakah keberatan atau tidak jika orang (non-Muslim/Muslim) membangun tempat peribadatan di sekitar sini?
  3. Apakah keberatan atau tidak jika orang (non-Muslim/Muslim) menjadi bupati/walikota?
  4. Apakah keberatan atau tidak jika orang (non-Muslim/Muslim) menjadi gubernur?
  5. Apakah keberatan atau tidak jika orang (non-Muslim/Muslim) menjadi wakil presiden?
  6. Apakah keberatan atau tidak jika orang (non-Muslim/Muslim) menjadi presiden?

Hasilnya:

  1. Mayoritas warga Muslim (54%) tidak keberatan jika orang non-Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya, begitu pula dengan mayoritas warga non-Muslim (84%) juga tidak keberatan jika orang Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya.
  2. Mayoritas warga Muslim (52%) keberatan jika orang non-Muslim membangun tempat peribadatan di sekitarnya, sedangkan mayoritas warga non-Muslim (70%) tidak keberatan jika orang Muslim membangun tempat ibadah di sekitarnya.
  3. Mayoritas warga Muslim (52%) keberatan jika orang non-Muslim menjadi bupati/walikota, sedangkan mayoritas warga non-Muslim (78%) tidak keberatan jika orang Muslim menjadi bupati/walikota.
  4. Mayoritas warga Muslim (52%) keberatan jika orang non-Muslim menjadi gubernur, sedangkan mayoritas warga non-Muslim (78%) tidak keberatan jika orang Muslim menjadi gubernur.
  5. Mayoritas warga Muslim (55%) keberatan jika orang non-Muslim menjadi wakil presiden, sedangkan mayoritas warga non-Muslim (86%) tidak keberatan jika orang Muslim menjadi wakil presiden.
  6. Mayoritas warga Muslim (59%) keberatan jika orang non-Muslim menjadi presiden, sedangkan mayoritas warga non-Muslim (86%) tidak keberatan jika orang Muslim menjadi presiden.

Dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa kelompok Muslim cenderung lebih intoleran terhadap kelompok non-Muslim, terutama dalam hal politik. Peningkatan intoleransi tersebut juga dimulai dari adanya Gerakan 212. Burhanuddin mengatakan 212 bukanlah puncak radikalisme, 

"Tetapi (aksi) 212 justru membuka keran intoleransi," kata dia.

Namun, Yenny Wahid mengatakan peningkatan tren intoleransi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dunia.

"Kita tidak punya partai politik yang mendasarkan politiknya dengan upaya mengusir satu kelompok agama tertentu dari negaranya seperti yang ada di satu negara di Eropa. Kita tidak punya partai politik yang merobek kitab suci agama lain seperti yang ada di salah satu negara di Eropa. Namun kita tetap harus waspada agar tidak sampai ke sana," ujar Yenny Wahid yang tak terima Indonesia disebut sebagai negara intoleran.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Jokowi-Ma’ruf Unggul di Semua Provinsi Indonesia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya