TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Sukarno Makan Satai Dekat Got Usai Diangkat Jadi Presiden

#MenjagaIndonesia

IDN Times/Vanny El Rahman

Jakarta, IDN Times – Bendera merah putih sudah berkibar, proklamasi sudah digaungkan. "Kalaupun ia (bendera) diturunkan lagi, itu harus melalui mayat dari tujuh puluh dua juta bangsaku," ujar Sukarno mengungkapkan kelegaannya sekaligus membuat ancaman bagi siapa pun yang mencoba mengusik bendera simbol kemerdekaan RI itu. 

Bendera itu dikibarkan tak lama setelah Sukarno bersama Mohammad Hatta membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Dengan dibacakannya naskah Proklamasi itu, Indonesia telah berhasil merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah.

Tapi, tugas tidak selesai di sini. Masih ada tugas baru yang sudah menanti, yakni membangun negara yang baru saja merdeka. Sebuah negara merdeka butuh presiden. 

Dalam buku autobiografi berjudul, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams, Sukarno mengisahkan bagaimana detik-detik setelah proklamasi dan pengangkatannya sebagai presiden, yang dirayakan dengan makan satai dekat got dan tempat sampah.

Baca Juga: Kisah Srimben, Gadis Pingitan Bale Agung Ibunda Sang Proklamator

1. Sukarno didatangi polisi militer Jepang

IDN Times/Vanny El Rahman

Saat membacakan naskah proklamasi kemerdekaan, Sukarno dalam keadaan sakit malaria. Badannya demam tinggi sehingga tak lama setelah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dia kembali ke kamar tidurnya.  

Ketika Sukarno tengah meringkuk di atas kursi dengan kepala pada kedua belah tangan, pintu kamarnya diketuk. Saat dibuka, seorang kepala polisi yang tampak marah sudah berdiri di depannya. 

Sukarno didatangi lima orang satuan polisi militer Jepang yang mempertanyakan tindakan yang telah dilakukannya.

Terjadi percakapan antara Sukarno dan polisi militer Jepang yang memiliki sebutan Kempeitai, setelah mereka menyerobot masuk ke kamar tengah untuk bertemu Sukarno. Alih-alih takut, Sukarno malah dengan tegas menjawab bahwa ia memproklamasikan kemerdekaan.

Dalam percakapan tersebut, polisi yang berbicara dengan Sukarno mengatakan bahwa tindakan tersebut terlarang, namun Sukarno menjawab bahwa proklamasi sudah terlanjur dibacakan.

2. Sukarno diangkat jadi presiden saat sedang sakit

IDN Times/Imam Rosidin

Proklamasi sudah dibacakan, Indonesia sudah merdeka, tapi belum punya presiden. Sementara Sukarno masih didera penyakit malaria dan harus meringkuk di kamarnya.

"Aku jatuh sakit. Aku lelah. Aku terlalu sibuk bekerja demi Tanah Air kami dan demi kelangsungan hidupnya, sehingga aku tidak mengetahui kejadian sampai yang sekecil-kecilnya serta rentetan kejadian setelah (proklamasi dibacakan) itu," tulis Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Keesokan harinya, para pemimpin bangsa yang dihadiri oleh perwakilan setiap kelompok penting di Indonesia seperti golongan keagamaan, sosial, suku, ekonomi, dan kependudukan berkumpul. Mereka memilih dengan suara bulat Sukarno sebagai presiden.

Sukarno sendiri tidak bisa mengingat siapa yang mengusulkannya menjadi presiden. Namun ia mengingat perkataan bahwa setelah merdeka, dibutuhkan seorang pemimpin, kemudian yang mengatakan hal tersebut menyebut nama Sukarno.

“Nah, kita sudah bernegara sejak kemarin, dan sebuah negara memerlukan seorang presiden. Bagaimana kalau kita memilih Sukarno,” ucap seseorang dalam rapat itu.

Setelah mendengar seorang mengatakan hal itu, Sukarno langsung menjawab dengan kata yang singkat dan sederhana, "baiklah."

3. Perayaan pertama Sukarno jadi presiden, makan sate dekat got

Repro foto buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Setelah menerima pengangkatan itu, Sukarno pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, dia bertemu tukang satai dan langsung memesan satai ayam 50 tusuk. Sukarno menyantap satai tersebut dengan duduk jongkok di dekat got dan tempat sampah. Sukarno menyebutnya sebagai perayaan pertamanya setelah dia diangkat sebagai presiden. 

Sesampainya di rumah, Sukarno memilih pergi ke dapur untuk memberitahukan hal yang menggembirakan ini kepada istrinya, Fatmawati. Namun, Fatmawati menjawab kabar gembira tersebut dengan mengutip perkataan ayahnya.

“Di larut malam sebelum bapak meninggal, hanya tinggal kami berdua yang belum tidur. Aku memijitnya untuk mengurangi rasa sakitnya, ketika tiba-tiba beliau berkata,  ‘aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi, dalam waktu dekat, anakku akan tinggal di istana yang besar dan putih itu.’ Jadi ini tidaklah mengagetkanku. Tiga bulan yang lalu bapak meramalkannya,” ujar Fatmawati kepada Sukarno.

Baca Juga: Kesaksian Magis Ketika Sukarno Tiba di Bali

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya