TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kritik Dewas, ICW: Keberadaan Lembaga Itu Gak Dibutuhkan di KPK

ICW harap kelembagaan Dewas segera ditiadakan

Jajaran Dewan Pegawas KPK menyampaikan konferensi pers di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Jakarta, IDN Times - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengkritik Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, kinerja Dewas dalam semester I tahun 2020 belum efektif.

"Sehingga, hal ini sekaligus membuktikan bahwa keberadaan lembaga tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan di KPK," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/8/2020).

Baca Juga: ICW Sindir Ketua KPK Cuma Kirim Rilis, Gak Fokus ke Kasus Joko Tjandra

1. Produk hukum dinilai tidak tepat sasaran

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (ANTARA News/Fathur Rochman)

ICW memberikan empat catatan dalam mengkritik kinerja Dewas. Kurnia mengatakan, sebagaimana tertera dalam Pasal 37 B Undang-Undang No. 19 Tahun 2019, salah satu tugas dari Dewas adalah menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.

Namun pada faktanya, Dewas hanya membuat satu kode etik yang mencakup subjek pimpinan sekaligus pegawai KPK.

"Tentu ini penting untuk dikritisi bersama, sebab potensi abuse of power yang paling besar ada pada level pimpinan. Untuk itu, Dewas sebaiknya membedakan kode etik di antara keduanya," ujarnya.

2. Abai dalam melihat dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK

Ketua KPK, Firli Bahuri (IDN Times/Axel Joshua Harianja)

Pada akhir Januari 2020, salah satu Penyidik KPK yang bertugas untuk menangani perkara suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Kompol Rossa Purbo Bekti, dikembalikan paksa oleh Ketua KPK, Firli Bahuri.

Padahal, lanjut Kurnia, Kompol Rossa belum masuk dalam minimal batas waktu bekerja di KPK. Proses pengembalian tersebut, juga tanpa adanya persetujuan dari pimpinan instansi asal (Kapolri).

"Bahkan, Kompol Rossa sendiri juga diketahui tidak pernah melanggar etik saat sedang bekerja di KPK. Tentu harusnya kejadian ini dapat dijadikan pemantik bagi Dewas, untuk memproses dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK," ucapnya.

3. Membiarkan simpang siur informasi terkait pemberian izin penggeledahan

Jajaran Dewan Pegawas KPK menyampaikan konferensi pers di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Kurnia mengatakan, penanganan perkara yang melibatkan mantan calon legislatif asal PDIP, Harun Masiku dan mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, menyisakan banyak persoalan. Salah satunya, terkait dengan isu penggeledahan kantor DPP PDIP.

Dalam hal ini, terdapat silang pendapat antara Pimpinan KPK dan Dewas. Kurnia menjelaskan, pada pertengahan Januari lalu, Wakil Pimpinan KPK, Nurul Ghufron menyebutkan Pimpinan KPK telah mengirimkan surat izin penggeledahan kantor DPP PDIP ke Dewas. Namun, permintaan tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti.

"Pernyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan oleh Dewas sendiri bahwa, tidak ada satu pun permintaan dari penyidik yang ditolak sepenuhnya. Tentu hal ini mesti diklarifikasi, setidaknya untuk menjawab pertanyaan, Nurul Ghufron atau Dewas yang berbohong kepada publik?" kata Kurnia.

Baca Juga: Gegara Sewa Helikopter, Ketua KPK Firli Bahuri Terancam Disidang Etik

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya