Cerita tentang Para Perempuan di Balik Aksi Teror
Tak hanya sekadar ikut suami, sejumlah perempuan juga memilih sendiri melangkah di jalan teror
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times — Sambil menggandeng dua putrinya yang masih bocah, Puji Kuswati melangkah mendekati pelataran Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Dipenogoro, Surabaya, Minggu 13 Mei 2018 sekitar pukul 08.00 WIB. Di pinggang Puji, melilit sebuah bom yang telah siap ia ledakkan.
Di depan gerbang, tepatnya tak jauh dari parkiran GKI, Puji yang berbalut pakaian dan cadar hitam, dihalau oleh satuan pengamanan (satpam) GKI, Yesaya. Namun, Puji memaksa masuk. Menurut keterangan para saksi yang dihimpun kepolisian, Puji kemudian memeluk Yesaya. Suara ledakan pun terdengar.
Hanya berselang lima menit, bom lainnya yang diduga dibawa Puji di dalam dua tas kembali meledak. Puji dan dua putrinya, Fadilah Sari yang baru berusia 12 tahun dan Pemela Riskika yang baru berusia 9 tahun tewas seketika.
Baca juga: [BREAKING] Terduga Teroris Penyerang Mabes Polri Seorang Perempuan
Aksi bom bunuh diri yang dilakukan Puji mengawali serangkaian aksi teror yang 'mengepung' Surabaya selama dua hari. Pasalnya, pada keesokan harinya aksi bom bunuh diri juga terjadi di Mapolrestabes Surabaya. Lewat aksi itu, Puji sekaligus mencatatkan diri sebagai ‘pengantin’ perempuan pertama di sejarah terorisme Indonesia.
"Fenomena bunuh diri wanita ini (Puji) bukan yang pertama, tetapi ini yang berhasil," kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian kepada wartawan dalam jumpa pers di Mapolda Jawa Timur pada hari yang sama.
Menyusul Puji, Tri Ernawati juga masuk ke dalam jajaran pelaku bom bunuh diri dari kalangan kaum hawa. Ernawati tewas bersama suaminya, Tri Mulyono dan dua putranya dalam aksi bom bunuh diri Mapolrestabes Surabaya pada Senin, 14 Mei 2018. Menurut polisi, Puji dan Ernawati merupakan anggota Jamaah Asharut Daulah (JAD) pimpinan Aman Abdurrahman yang saat ini mendekam di tahanan Mako Brimob, Depok.
Baca juga: 5 Hal Tentang JAD, Dalang Teror Bom Surabaya
Selain Puji dan Ernawati, penggunaan perempuan sebagai pengantin juga sempat direncanakan oleh kelompok JAD dua tahun sebelumnya. Pada Desember 2016, polisi menangkap terduga teroris Dian Yulia Novi di Bekasi, Jawa Barat. Dari hasil penyidikan, perempuan asal Cirebon itu berencana menyerang Istana Kepresidenan dengan bom bunuh diri sebelum ditangkap.
Baca juga: Fenomena ‘Bomber Keluarga’ di Teror Surabaya
Alasan taktis juga menjadi dasar pemilihan modus bom bunuh diri dengan pelaku perempuan. Menurut Chaula, tindak-tanduk bomber perempuan terkadang tidak terlalu dicurigai ketimbang laki-laki. Perempuan juga cenderung lebih mudah menyembunyikan bom di balik pakaiannya.
“Kadang-kadang juga ada saja titik-titik yang tidak ada penjaga perempuannya sehingga pengecekan seluruh tubuh dari perempuan juga tidak terlalu detail, misal hanya pakai detector saja. Selain itu alternatif penyerangnya juga jadi lebih banyak, tidak hanya terpaku pada laki-laki. Kalau sumber dayanya ada perempuan ya bisa dimanfaatkan,” tuturnya.
1. Kenapa perempuan?
Menurut analis riset dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang University Singapura, Chaula Rininta Anindya, penggunaan bomber perempuan mengafirmasi fakta bahwa jagat terorisme tak lagi hanya didominasi kaum laki-laki. Tak seperti di era Jamaah Islamiyah (TI), teroris perempuan tak lagi hanya sekadar ditugasi mengurus logistik dan finansial atau sekadar pemersatu jaringan lewat perkawinan.
“Kenapa perempuan? Karena secara strategis dan taktikal jelas punya peran yang efektif. Secara strategis, efek terornya juga besar karena (publik) tidak terbiasa dengan perempuan sebagai penyerang. Biasanya akan muncul overreaction yang justru itu tujuan utama dari tindakan terornya,” ujar Chaula saat berbincang dengan Rappler di Jakarta, Selasa, 15 Mei 2018.