TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kemenkes: 40 Detik Orang Meninggal Dunia karena Bunuh Diri

Pandemik COVID-19 sangat mempengaruhi kesehatan jiwa

ilustrasi bunuh diri (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 yang melanda berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, berdampak pada kesehatan jiwa

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto mengakui, pandemik COVID-19 bisa menimbulkan ketakutan, kecemasan, stres, bahkan bunuh diri.

"Dampak psikologis akibat pandemik COVID-19 ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (Organization World Health/WHO) pada 2018, setiap 40 detik seseorang meninggal karena bunuh diri. Diperkirakan 800 ribu orang meninggal karena bunuh diri dalam waktu setahun," ujarnya dalam jumpa pers virtual Hari Kesehatan Jiwa, Kamis, 1 Oktober 2020.

Baca Juga: Angka Bunuh Diri Meningkat selama Pandemik, Apa Penyebabnya?

1. Bunuh diri rentan usia 15 sampai 29 tahun

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto dalam Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020 (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Yuri menerangkan kelompok terbesar kedua yang melakukan bunuh diri yakni usia 15 sampai 29 tahun. Bunuh diri adalah tragedi yang akan memengaruhi keluarga, komunitas, dan seluruh negara.

"Efek jangka panjang bagi orang-orang yang ditinggalkan ini mengharuskan kita memastikan bahwa kesehatan jiwa sekarang harus lebih diprioritas," terangnya.

2. Penderita gangguan jiwa bisa merugikan ekonomi sampai Rp16 triliun

Ilustrasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung (Antara Lampung)

Bahkan, angka penderita gangguan jiwa meningkat di setiap negara hingga dapat merugikan ekonomi global mencapai Rp16 triliun. Bahkan, bila tidak ditangani dengan serius, kerugian tersebut bakal terjadi pada rentang waktu 2020 sampai 2030.

"Pemerintah perlu berinvestasi di kesehatan jiwa menjadi bagian integral dari cakupan kesehatan semesta. Tidak ada yang boleh ditolak aksesnya keperawatan kesehatan jiwa karena alasan tidak mampu atau tinggal di tempat yang terpencil. Tidak seorang pun boleh ditolak dalam kaitan kebutuhan perawatan kesehatan jiwanya," tegasnya.

3. Kesehatan jiwa adalah hak asasi manusia

Seorang anak menggunakan alat pelindung wajah saat mengikuti shalat Idul Adha berjemaah di Lapangan Vatulemo, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (31/7/2020). Berbagai alat pelindung diri digunakan oleh warga saat mengikuti pelaksanaan shalat Idul Adha berjamaah guna mencegah penyebaran COVID-19. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Yuri mengungkapkan dukungan psikososial dan rencana nasional  perlu membahas gangguan kesehatan jiwa yang diakibatkan oleh COVID-19 dan dampaknya bagi warga negara.

"Kesehatan jiwa adalah hak asasi manusia inilah saatnya kesehatan jiwa harus tersedia untuk semua orang," imbuhnya.

 

Baca Juga: 5 Hal yang Dapat Kamu Lakukan untuk Mencegah Orang Lain Bunuh Diri

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya