TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kemenkominfo Wacanakan Blokir NIK Pelaku Penyebar Hoaks

Whatsapp jadi media sosial penyebar hoaks terbanyak

IDN Times/ Dini suciatiningrum

Jakarta, IDN Times - Pengguna media sosial nampaknya harus hati-hati dan bijak dalam menggunakan media sosial. Pasalnya, Kominfo berencana blokir Nomor Induk Kependudukan jika membuat dan menyebarkan berita bohong di WhatsApp.

"WhatsApp lebih privasi pengaturanya dibanding media sosial lain sehingga penyebaran berita hoaks mudah dilakukan melalui WhatsApp. Bawaslu tidak bisa masuk juga, makanya kami kerjasama dengan WhatsApp untuk membatasi forward," jelas
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto, talkshow Politik Tanpa Hoaks di Hotel Sultan, Jumat (29/3).

1. Kemenkominfo wacanakan blokir NIK

Dok. KPU

Henri menerangkan pemblokiran akun bisa dilakukan jika terlihat melalui teknologi namun settingan WhatsApp lebih privasi. Kendati demikian, Kemenkominfo wacanakan jika ditemukan pelanggaran pidana maka NIK akan diblokir.

"Kalau nomor handphone bisa diganti-ganti tapi daftarnya kan pakai NIK yang sama. Tetapi ini sih jadi wacana di kementerian," imbuhnya.

2. Calon PNS akan ditelusuri rekam jejak di media sosial

Antara Foto/Aprilio Akbar

Henri mengingatkan agar masyarakat bijak dan menggunakan media sosial untuk konten yang positif. Sebab, jika dia membuat berita hoaks atau sebarkan konten negatif maka akan merugikan masa depan.

Henri menjelaskan Kemenkominfo mempunyai rekam jejak digital semua pengguna media sosial. Sehingga, masyarakat yang menyebarakan hoaks akan hancurkan reputasi sendiri.

"Jika daftar PNS atau kerja akan dilihat media sosialnya, jadi ketahuan yang depannya alim gak taunya suka buka bokep atau sebarkan hoaks juga ujaran kebencian. Jadi teknologi merekam jejak kita," ungkapnya.

Baca Juga: Menkominfo: 23 Persen Hoaks di Indonesia Terkait Politik

3. Politik tanpa hoaks tidak mungkin

IDN Times/Sukma Shakti

Henri mengungkapkan hoaks sudah menjadi bagian dari political game diberbagai negara. Contohnya, Donald Trump yang terpilih jadi presiden karena penyebaran berita hoaks.

"Jadi saya rasa tidak mungkin politik tanpa hoaks, apalagi jelang Pilpres, kalau bentuk negara otoriter bisa tapi kalau demokrasi akan sulit," ungkapnya.

Baca Juga: Menkominfo: 771 Hoaks Menyebar di Indonesia Sejak Agustus 2018

4. Hoaks lebih murah daripada serangan fajar

(Tim penyidik tengah membuka kain yang menutupi kardus berisi uang untuk serangan fajar) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Henri menambahkan saat ini pengguna smartphone sudah mencapai 150 juta orang. Angka ini bisa berikan kontribusi besar bagi sebuah partai politik dalam konteks penyebaran hoaks untuk pihak lawan.

Apalagi, kata dia, saat ini semua bisa jadi "wartawan", membuat berita atau pesan yang belum tentu benar. Dengan menggandeng buzzer hoaks bisa mudah disebar di media sosial.

"Dengan teknologi, hoaks mudah mempengaruhi pemilih tanpa harus capek-capek mendatangi masyarakat. Jadi lebih murah daripada serangan fajar," ujarnya.

Baca Juga: Hoaks Lebih Murah Ketimbang Serangan Fajar

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya