TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KPAI Kecam Predator Seks  Anak Disabilitas Berkedok Perangkat Desa

Stigma anak yang dianggap ‘kurang’ menjadi alasan

IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh perangkat desa kepada bocah disabilitas mental di Ciamis, Jawa Barat.

Alih-alih menjadi perangkat desa dan menjadi simbol perlindungan warga, justru menjadi pelaku kejahatan seksual. Peristiwa kelam ini terjadi pada Maret itu dengan pelaku perangkat desa bersama 3 orang lain.

Kepala Divisi Pengawasan dan Monitoring Evaluasi (Kadivwasmonev) KPAI, Jasra Putra, menilai stigma anak yang dianggap ‘kurang’ ini telah menjadi alasan melakukan kejahatan seksual dan eksploitasi seksual.

"Meski peristiwa anak piatu dan ‘kurang’ tersebut sudah di respons perangkat desa, namun sayang sekali kepercayaan masyarakat berbuah getir, karena predator yang dipercaya itu berkedok perangkat desa. Yang menyebabkan mudah lolos dari jeratan hukum," ujar Jasra dalam pesan yang diterima IDN Times, Jumat (1/6/2022).

Baca Juga: PT KAI Lakukan Kampanye Lapor dan Cegah Pelecehan Seksual

1. Kepercayaan jabatan untuk kejahatan

Komisioner KPAI Jasra Putra /dok Pribadi

Jasra menyayangkan kepercayaan jabatan untuk mewakili negara dalam perlindungan, justru dengan jabatannya itu digunakan untuk kejahatan. Jasra menilai kondusi ini sangat berbahaya karena semua akses dengan mudah digunakan untuk menutupi perbuatan jahatnya.

"Apalagi ia gunakan kewenangan itu untuk melemahkan anak yang dianggap kurang normal dan piatu serta ayah korban yang dianggap kurang normal. Sehingga dengan alasan tersebut, dianggap saksi tidak sah secara hukum. Sehingga kasus yang berlangsung di kepolisian itu, dengan mudah selesai begitu saja," bebernya.

2. Kasus di Ciamis harus dikawal

IDN Times/Sukma Shakti

Jasra mengatakan bila tidak ada yang peduli, kemungkinan kondisi anak tersebut lebih buruk lagi. Apalagi para pelaku sudah meloloskan diri dari jeratan hukum.

Menurut Jasra, jika kasus ini tidak dikawal masyarakat Ciamis, niat para pelaku untuk menghilangkan jejak perbuatan jahatnya bisa terealisasi.

"Mungkin bila tidak ada masyarakat yang melapor, dosa ini akan kita tanggung bersama sama pada pihak lemah dan dilemahkan, yaitu anak piatu dan ayah tersebut. Artinya melindungi anak dari ancaman, KDRT, kekerasan seksual dan menghapus kejahatan seksual sangat ditentukan oleh masyarakat yang mau tergerak menjadi pelopor dan pelapor, seperti yang dilakukan para Ibu-Ibu di Ciamis," ujarnya.

3. Banyak orang yang menyalahgunakan kewenangan

Ilustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Jasra mengungkapkan tidak sedikit orang yang diserahkan kepercayaan oleh masyarakat untuk melindungi warganya justru menyalahi kewenangan yang telah diberikan. Mereka biasanya memanfaatkan kepedulian masyarakat untuk eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.

"Apalagi dengan dibalut sebagai penjaga desa, tentu saja merusak sistem perlindungan anak di tingkat bawah. Yang dititipkan kepada para petugas dengan simbol negara sebagai tokoh perlindungan warga, yang justru menjadi predator di masyarakat," katanya.

Baca Juga: Pelecehan di Kereta, KAI Gandeng Komnas Perempuan Atur Kebijakan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya