Marak Penculikan Anak hingga Jual Beli Organ, Dosen UI Ungkap Motifnya
Delik penculikan Anak Bisa Kena Pasal Berlapis
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Akhir-akhir ini, kasus kekerasan terhadap anak, seperti penculikan, adopsi illegal atau perdagangan bayi, pembunuhan untuk perdagangan organ tubuh, serta eksploitasi seksual pada anak marak terjadi.
Melihat fenomena tersebut, Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Nathalina Naibaho mengatakan, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan anak.
"Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksual terhadap anak melalui child grooming adalah beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya kasus penculikan anak," ujarnya dilansir laman UI, Senin (30/1/2023).
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum di Indonesia mengatur penculikan dan kasus pelecehan terhadap anak?
Baca Juga: KPPPA Laporkan Situs Jual Beli Organ Tubuh Imbas Kasus Pembunuhan Anak
1. Delik penculikan anak bisa kena pasal berlapis
Dalam perspektif hukum, delik penculikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 328 dan Pasal 333. Untuk korban anak, aturan yang diterapkan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2022 dan perubahannya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016).
Jika dalam pemeriksaan kepolisian (yang dikuatkan hasil visum et repertum) ditemukan adanya indikasi perbuatan cabul atau kekerasan seksual, pasal lain dalam UU Perlindungan Anak akan diterapkan melalui lembaga gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP dan dapat memperberat ancaman pidana bagi pelaku.
“Secara singkat, dasar hukum untuk kasus penculikan anak yang disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual adalah Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 jo Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 KUHP. Dalam hal ini, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga, yaitu ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar," katanya.
"Korban berhak mendapat rehabilitasi, mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi, mengajukan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku, dan mengumumkan identitas terdakwa ke publik,” imbuh Nathalina.
Baca Juga: Waspada Kekerasan Seksual Anak di Medsos, Begini Cara Mencegahnya!