TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Rencana Jalan Berbayar di DKI, Dosen UNAIR: Jangan Gegabah 

ERP harus dikaji berbagai aspek

Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Jakarta, IDN Times – Rencana pemberlakuan electronic road pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar di sejumlah ruas jalan di ibu kota tengah mencuat baru-baru ini. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan, pemberlakuan kebijakan tersebut bertujuan untuk mengendalikan kemacetan lalu lintas yang terus meningkat. 

Merespons hal tersebut, dosen kajian politik tata ruang dan transportasi Universitas Airlangga (UNAIR), Siti Aminah, menegaskan bahwa kebijakan ERP tidak boleh diterapkan dengan gegabah.

Baca Juga: Tolak Jalan Berbayar, Nasdem: Jalan Ini Dibangun dari Pajak Rakyat

1. ERP memerlukan kajian dari berbagai aspek

Dosen kajian politik tata ruang dan transportasi Universitas Airlangga (UNAIR), Siti Aminah/dok UNAIR

Aminah menerangkan, pemberlakuan ERP memerlukan kajian dari berbagai aspek, tidak sekadar berfokus untuk memecahkan masalah kemacetan dan hitungan ekonomi bisnis. Namun, terdapat aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. 

“Aspek energi, keberlanjutan pembangunan, aspek perilaku pengguna mobil, aspek mobilitas, dan lain-lain. ERP itu berada dalam skema kebijakan yang besar, yaitu SDGs (Sustainable Development Goals, Red),” ungkapnya dikutip laman UNAIR, Senin (23/1/2023).

Baca Juga: Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?

2. ERP bisa dimaknai sebagai eksklusi sosial masyarakat dari jalan raya dan transportasi pribadi

Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Aminah menerangkan, sejak tahun 1992, pemerintah DKI Jakarta telah berupaya mencari solusi untuk memecahkan kemacetan lalu lintas tanpa merugikan pengguna jalan dan pemilik kendaraan bermotor, baik mobil ataupun sepeda motor. Kebijakan tersebut kemudian dikenal dengan istilah ‘3 in 1’. 

Kendati demikian, masyarakat mampu menyiasati kebijakan tersebut dengan berbagi kendaraan bersama orang lain agar tidak kena tilang. Selain itu, muncul banyak joki penumpang sementara agar dapat melalui ruas jalan-jalan protokol.

“Semua penduduk punya hak untuk menggunakan jalan dan dilayani kebutuhan untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Jalan itu barang publik, jika jalan sudah dijual kepada masyarakat atas nama mengatasi kemacetan, mengurangi polusi, bagaimana dengan kehadiran taksi-taksi online? Berapa harga yang harus dibayar oleh pengguna taksi?” jelasnya.

“Apakah keadilan dalam mobilitas tidak dipikirkan? ERP ini bisa dimaknai sebagai eksklusi sosial masyarakat dari jalan raya dan transportasi pribadi. Belajar dari pengalaman kota-kota besar di negara lain sangat penting,” tegasnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya