Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?

Kebijakan penerapan jalan berbayar di 25 ruas tuai polemik

Jakarta, IDN Times - Kemacetan di DKI Jakarta sudah menjadi masalah klasik yang tidak kunjung terselesaikan. Macet di Ibu Kota sudah sampai pada tahap kronis.

Berdasarkan data Traffic Index Ranking 2020 oleh Tomtom International BV, Jakarta menempati urutan ke-31 sebagai kota termacet di dunia bahkan pernah berada di urutan ke-4 pada tahun 2017.

Berbagai cara telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta demi menurunkan angka kemacetan di Ibu Kota. Upaya-upaya tersebut antara lain penerapan 3 in 1, kebijakan ganjil genap, dan sejumlah konstruksi underpass ataupun flyover. Namun hal itu tidak membuat kemacetan di Jakarta berkurang.

Langkah terbaru yang akan diterapkan Pemprov DKI Jakarta adalah kembali menyuarakan kebijakan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) yang rencananya akan diterapkan pada tahun ini. Meski belum diterapkan, namun kebijakan tersebut masih menuai polemik di masyarakat.

Baca Juga: Ganjil-Genap Diperpanjang, Pemprov DKI Diminta Berlakukan ERP

1. Milenial nilai ERP hanya pindahkan titik macet

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Ilustrasi kemacetan Jakarta (IDN Times/Sunariyah)

Natha, perempuan yang bekerja selama lima tahun di Jakarta ini mengaku setuju jika ERP diterapkan apabila memang terbukti mengurai kemacetan. Sebab, selama ini dia sudah akrab dengan macetnya jalanan Jakarta, apalagi dia menggunakan mobil pribadi untuk menunjang aktivitasnya.

Namun, perempuan berusia 28 tahun itu juga khawatir kebijakan tersebut hanya memindahkan titik macet dari 25 ruas jalan yang diterapkan ERP ke jalan lainnya.

"Jika diterapkan, banyak yang mencari jalan alternatif atau yang tidak berbayar, maka ERP hanya mengalihkan titik kemacetan saja. Itu sama saja," ucap karyawan swasta tersebut.

Keresahan juga melingkupi Andhita yang bekerja di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Jalan Gatot Subroto menjadi salah satu area yang akan diterapkan ERP.

Andhita mengatakan, apabila ERP diterapkan di kawasan tersebut, maka akan menambah beban pengeluaran.

"Tambah boros, apalagi saya memakai sepeda motor," ujarnya.

Menurut Andhita, kebijakan ini seolah memaksa masyarakat. Terlebih, 25 jalan yang berbayar tersebut dibangun dari pajak rakyat.

"Kalau jalan tol wajar. Ini fasilitas umum dibangun dari duit rakyat, ya kali dibisnisin lagi," imbuhnya dengan nada kesal.

Baca Juga: Tolak Jalan Berbayar, Nasdem: Jalan Ini Dibangun dari Pajak Rakyat

2. Ojol siap geruduk Kemenhub jika jalan berbayar diterapkan

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Infografis 25 ruas jalan berbayar di DKI Jakarta/ IDN Times

Di sisi lain, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan, pihaknya mengusulkan bahwa sepeda motor termasuk kendaraan yang bakal dikenakan biaya jika menggunakan ruas jalan berbayar.

"Dalam usulan kami termasuk di dalamnya (sepeda motor). Sesuai Undang- Undang, pengecualian adalah plat kuning," ujar Syafrin di DPRD DKI Jakarta, Senin (16/1/202).

Usulan Dishub itu menuai protes asosiasi ojek online (ojol) dari Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia. Mereka menolak wacana Pemprov DKI menerapkan jalan berbayar.

"Kami sebagai asosiasi ojek daring Garda menolak, apabila ojol daring dikenakan biaya saat melintas di ruas jalan berbayar," tegas Ketua Umum Garda Indonesia, Igun Wicaksono, saat dihubungi IDN Times, Kamis (19/1/2023).

Igun mengatakan, ojek online atau daring sudah menjadi alat transportasi masyarakat di DKI Jakarta.

"Walaupun kendaraannya belum berplat kuning, tapi sudah menjadi alat transportasi umum bagi masyarakat dan pengiriman barang," terangnya.

Igun berharap, pihaknya nantinya bisa terlibat saat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE) soal jalan berbayar atau ERP yang tengah dilakukan.

"Jika nanti diterapkan dan ojol tetap dikenakan biaya, maka kami akan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk merevisi aturan ERP," imbuhnya.

Baca Juga: Menambah Beban, Kaum Pekerja Tolak Jalan Berbayar di DKI

3. Penerapan ERP menunggu aspek legal dengan usulan tarif mulai Rp5 ribu

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Sebenarnya, wacana penerapan jalan berbayar telah dimulai sejak era kepemimpinan Gubernur DKI Sutiyoso dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 tentang Pola Transportasi Makro.

Wacana ini juga sempat mengemuka ketika Joko "Jokowi" Jokowi menjadi Gubernur DKI, termasuk pada era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat. Wacana ini terus bergulir hingga dibahas kembali lebih lanjut di zaman Penjabat (Pj) Gubernur DKI saat ini, Heru Budi Hartono. Meski demikian, rencana ini tak kunjung terealisasi karena terbentur regulasi.

Syafrin mengatakan, regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) mengenai PL2SE saat ini masih dalam tahap pembahasan bersama DPRD DKI Jakarta.

"Perda kebijakan PL2SE atau ERP ini masih dibahas bersama DPRD. Setelah legal aspeknya selesai, baru PL2SE ini bisa diterapkan," ujar Syafrin, Rabu (11/01/2023).

Syafrin menerangkan, Raperda PL2SE telah masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2022 dan Tahun 2023. Pembahasan kebijakan PL2SE pada tahun 2022 telah dilakukan bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta dalam bentuk dengar pendapat dari stakeholder dan masyarakat.

"Ketentuan mengenai tarif, ruas jalan, jenis kendaraan, dan lain-lain merupakan substansi yang masuk dalam pasal demi pasal Raperda yang terus dibahas oleh Bapemperda sebelum nantinya ditetapkan sebagai Peraturan Daerah," terangnya.

Dalam Raperda, pihaknya mengusulkan kisaran tarif Rp5 ribu hingga Rp19 ribu. Namun tarif ini masih bisa berubah menyesuaikan kesepakatan dalam rapat penyusunan Perda yang saat ini belum rampung.

“Ada rincian kemarin (dalam Raperda) kalau gak salah di angka Rp5 ribu sampai dengan Rp19 ribu, akan di antara angka itu,” kata Syafrin.

Baca Juga: Jakarta Macet gegara Tingkat Pengguna Angkutan Umum Rendah

4. Heru ungkap regulasi masih digodok pemerintah pusat

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono usai melantik Kepala Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta di Balai Agung, Senin ( 9/2/2023). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Sementara itu, Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, tidak banyak berkomentar ketika berulang kali ditanya awak media tentang kepastian penerapan ERP.

Dia mengungkapkan, saat ini tarif jalan berbayar masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah pusat.

"Tarif, saya tidak menyampaikan, tapi masih perlu pembahasan dengan tingkat pusat," kata Heru, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Heru menerangkan, saat ini draf Raperda PL2SE masih dibahas bersama DPRD DKI Jakarta. Setelah disahkan, nantinya akan ada regulasi turunan berupa Peraturan Gubernur (Pergub) dan Keputusan Gubernur (Kepgub).

"Masih ada tujuh tahapan mulai tahun 2022 dan dilanjutkan mungkin 2023," imbuhnya.

5. Anggota DPRD prediksi ERP bisa raup Rp60 miliar per hari

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Rapat Komisi B tentang ERP di DPRD DKI Jakarta, Senin (16/1/2023). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Wacana ERP yang menimbulkan polemik di masyarakat membuat Komisi B DPRD DKI Jakarta menggelar rapat khusus pembahasan ERP dengan Dinas Perhubungan pada Senin (16/1/2023).

Namun pertemuan tersebut gagal karena sejumlah pejabat dari eksekutif tidak hadir. Mulai dari Asisten Perekonomian (Sekda DKI Jakarta), Bappeda (DKI), hingga Biro Hukum.

Sebelum rapat tersebut ditutup, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Hasan Basri Umar, dari Fraksi NasDem, menyampaikan aspirasi untuk ditampung sementara. Dia menolak tegas rencana jalan berbayar elektronik tersebut.

Menurutnya, sebanyak 25 ruas jalan yang akan dikenakan biaya merupakan jalan yang dibangun pemerintah menggunakan pajak rakyat.

"Jalan ini dibangun pakai biaya pemerintah, ini (biaya) kan dari masyarakat yang bayar pajak, udah bayar pajak kok bayar lagi," ujar Hasan di hadapan Kepala Dishub Pemprov DKI Jakarta.

Hasan memaparkan, jika jalan tol dikenakan biaya merupakan hal yang wajar karena dibangun oleh swasta, bukan pemerintah.

"Kalau tol dibangun swasta, maka wajar mereka nagih. Tapi kalau jalan yang dibangun pemerintah ini dari pajak masyarakat kenapa lewat (harus) bayar," ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, Ismail, mengungkapkan, apabila rencana jalan berbayar diterapkan, maka pendapatan Pemerintah DKI Jakarta dari ERP bisa mencapai Rp30 miliar hingga Rp60 miliar per hari.

"Satu trip itu Rp30 miliar, berarti dua kali (pulang dan pergi) sekitar Rp60 miliar,” kata Ismail.

Ismail meminta agar nanti Pemprov DKI membentuk badan usaha yang mengelola dana pendapatan dari ERP agar tidak disalahgunakan.

"Itu kan angka yang tidak sedikit ya, makanya harus dipastikan dengan angka tersebut, dengan potensi penerimaan sebesar itu, harus ditangani dan diterapkan dengan baik," kata dia.

Baca Juga: Ojol Tolak Jalan Berbayar di Jakarta, Ancam Geruduk Kemenhub

6. Jalan berbayar membuat masyarakat dipaksa rasional dalam memilih moda angkutan umum

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Iluastrasi MRT (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Sementara itu, Pakar Transportasi Unika, Djoko Setijowarno, mengakui, tidak banyak kota di dunia yang menerapkan ERP. Hal itu karena sulitnya mendapatkan dukungan politisi dan masyarakat.

Dia mencontohkan di Stockholm, Swedia. Djoko mengatakan, untuk menerapkan jalan berbayar elektronik, mereka melakukan referendum untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

"Singapura bisa menerapkan karena pemerintahnya sangat strong dan agak otoriter," katanya.

Dia mengakui, penerapan ERP memaksa pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan transportasi umum.

Djoko mengungkapkan, tidak sedikit publik yang beralasan angkutan umum di Ibu Kota tidak memadai. Padahal, kata dia, sebaik apapun angkutan umumnya, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan nyamannya menggunakan mobil pribadi. Pasalnya, menggunakan mobil pribadi memiliki fleksibilitas, privasi, gengsi, status sosial, door to door, dan lain-lain.

"Padahal MRT juga sudah dibangun di tiap sudut, secara umum angkutan umum di Jakarta sudah cukup baik. Dengan ERP masyarakat dipaksa rasional dalam memilih moda angkutan umum," ungkapnya.

Untuk itu, dia pun mengusulkan agar tarif ERP mencapai Rp75 ribu untuk menimbulkan efek jera.

"Tarif Rp5 ribu sampai Rp20 ribu masih terlalu rendah, batas tertinggi bisa mencapai Rp75 ribu agar ada efek jera menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan di jalan umum," imbuhnya.

Meski demikian, secara politis Djoko meragukan anggota DPRD DKI Jakarta akan meloloskan Raperda PL2SE karena akan mencalonkan diri kembali menjadi anggota legislatif untuk periode 2025-2029.

"Mereka merasa dilema, satu sisi anggota DPRD akan mencalonkan diri jadi anggota legistilatif, di sisi lain konstituen yang menolak ERP kemungkinan tidak akan memilihnya. Sementara, jika tidak dijadikan Perda, Jakarta akan tambah semakin macet, maka warga nanti akan menyalahkan DPRD bukan Gubernur," imbuhnya.

Baca Juga: Dishub DKI soal Jalan Berbayar di Jakarta: Masih Digodok 

7. Sistem ERP terbukti memecahkan kemacetan di Singapura

Kemacetan Jakarta Tahap Kronis, Jalan Berbayar Bisakah Jadi Solusi?Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Di sisi lain, Pengamat Transportasi, Azas Tigor Nainggolan, mendukung rencana Pemprov DKI yang akan menerapkan jalan berbayar secara elektronik.

Menurutnya, sistem ERP sudah banyak digunakan oleh kota besar di beberapa negara seperti Stockholm, Swedia; London, Inggris; dan Singapura. Kota-kota besar tersebut, kata dia, terbukti berhasil memecahkan kemacetan dengan sistem ERP.

"Begitu pula ERP sudah lama dipelajari oleh Kota Jakarta untuk membantu memecahkan kemacetan. ERP merupakan salah satu cara untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi di ruas jalan tertentu," ujarnya.

Tigor menerangkan, ERP lebih efektif dalam memecahkan kemacetan pada ruas jalan tertentu dibandingkan cara ganjil genap atau 3 in 1.

"Agar lebih efektif mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dan mengatasi kemacetan di Jakarta, penerapan ERP di Jakarta harus didukung dan disertai cara lain, seperti manajemen parkir dan integrasi layanan transportasi publik," katanya.

Tigor menerangkan, sistem jalan berbayar tersebut akan dimulai secara bertahap di ruas jalan tertentu yang akan ditetapkan sebagai jalan dengan kondisi kemacetan yang tinggi.

Dia mengusulkan, rencana sistem tarif atau pembayaran yang akan diterapkan sebaiknya memakai sistem yang disesuaikan atau mengikuti tinggi rendahnya demand kendaraan di ruas jalan yang diterapkan ERP.

"Sistem tarif atau bayar ERP di Jakarta akan dapat meniru sistem tarif ERP di Singapura. Saat tinggi penggunaan jalannya (demand-nya), maka tarifnya akan mahal. Sementara ketika penggunaan jalannya rendah maka tarifnya akan turun menjadi murah," paparnya.

Baca Juga: Siap-Siap, Sepeda Motor Akan Bayar Lewat 25 Ruas Jalan di DKI Jakarta

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya