TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

BMKG Sebut Aksi Mitigasi Gas Rumah Kaca Mesti Ditingkatkan

Akibat perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan

Ilustrasi perubahan iklim (Unsplash/Ciprian Morar)

Jakarta, IDN Times - Laju peningkatan suhu permukaan di Indonesia disebut sangat bervariasi oleh Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir, kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.

Lebih spesifik lagi di Pulau Sumatera bagian timur, pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan lebih dari 0,3 derajat celsius per dekade.

Baca Juga: BMKG Catat 565 Gempa Terjadi di Aceh Selama 2022

1. Kota Samarinda punya laju peningkatan suhu permukaan tertinggi

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto di Kota Samarinda, menjadi wilayah dengan laju peningkatan suhu permukaan tertinggi (0,5 derajat celsius per dekade). Sedangkan wilayah Jakarta dan sekitarnya, suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40 sampai 0,47 derajat celsius per dekade.

"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 derajat celsius dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 derajat celsius dan 0,6 derajat celsius," kata Dwikorita dalam siaran resminya.

2. Analisis BMKG sesuai dengan laporan Badan Meteorologi Dunia

Ruang pengamatan cuaca BMKG (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Analisis tersebut ternyata sama dengan laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021), yang dirilis oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022.

WMO mengatakan kalau sampai akhir 2021, suhu udara permukaan global memanas sebesar 1,11 derajat celsius dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900). Hal itu menjadikan 2021 sebagai tahun terpanas ke-3 setelah tahun 2016 dan 2020.

WMO juga menyatakan, dekade terakhir 2011-2020 merupakan rekor periode terpanas suhu di permukaan bumi. Kenaikan suhu pada 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim, yaitu fenomena El Nino kuat.

Sedangkan, meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan, merupakan bentuk dari pemanasan global.

3. Pemanasan global terjadi karena faktor kegiatan manusia

Ilustrasi dampak pemanasan global (Unsplash/ Karsten Würth)

Ardhasena Sopaheluwakan selaku Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan menambahkan, kalau pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebut, pemanasan global tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik).

Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020–2021 dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah tahun 2016.

"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an yaitu sebesar 0,2 derajat celcius per dekade," jelas Ardhasena.

Baca Juga: Lampung Berkabut, BMKG Minta Warga Tak Olahraga Berat di Luar Ruangan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya