TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Buku Sastra Anak Kolong, Humor di Tengah Impitan Masa Penumpasan Komunisme

Di tengah kehidupannya yang biasa saja, ia menjadi saksi beragam peristiwa penting.

Chicha/IDNTimes

Anak Kolong di Kaki Gunung Slamet.

Kebanyakan karya sastra yang berlatar tragedi G30S/PKI 1965 berwarna suram, geram, dan dendam. Tapi buku ini lain. Penulisnya mampu melukiskan tragedi besar secara ringan dan amat menarik. –Ahmad Tohari.

Buku yang masih gres diluncurkan ini bercerita soal kehidupan seorang anak kolong atau anak tentara yang menjalani hari biasa, sama seperti anak-anak lainnya. Namun latar belakang peristiwa yang membuntuti bikin hidupnya jadi terkesan luar biasa.

Anak kolong tinggal bersama ibu yang tabah, nenek yang eksentrik (penggemar sastra Jawa klasik), dan ayah yang jarang di rumah. Anak kolong digambarkan dalam tokoh aku.

Chicha/IDN Times

Dalam novel itu, ia menuturkan apa yang ia jumpai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kenakalan yang lumrah dilakukan oleh bocah di kampung. Aku si anak kolong tinggal di desa, di kaki Gunung Slamet, pada rentan waktu 1960-1970.

Di tengah kehidupannya yang biasa saja, ia menjadi saksi beragam peristiwa penting. Semisal operasi Trikora, Dwikora, penumpasan PKI, and PGRS/Paraku. Situasi ekonomi yang mengimpit dengan keadaan politik yang tak kalah rumit membuat kisah hidup tokoh aku, yang kebetulan tinggal di lingkungan tentara, sangat berwarna.

Diimpit peristiwa besar bersejarah itu, aku si anak kolong mengasah kepekaannya dengan bergaul bersama beragam tipe manusia, hewan, dan alam.

Chicha/IDN Times

Menjadi petualang, jatuh cinta untuk pertama kalinya, bersemuka dengan orang-orang unik, ia luapkan dalam bingkai kisah yang jenaka.

Aku Si Anak Kolong adalah buku sastra pertama Yan Lubis. Memang, ini pertama kalinya bagi Yan, seorang profesional di bidang pengelolaan sumber daya alam-lingkungan, yang juga akademikus, merajut cerita untuk dibukukan menjadi sebuah karya sastra berbau realis. Kisah itu ia beberkan dalam sebuah peluncuran buku di bilangan Ampera, Jakarta Selatan, Minggu sore, 15 Oktober 2017.

Baca Juga: Sudah Diumumkan, Ini Dia Pemenang Nobel Kimia dan Sastra 2017

Yan, yang kariernya amat beragam, menyelesaikan bukunya dalam waktu tiga tahun.

Chicha/IDN Times

Bukan waktu yang sebentar bagi penulis untuk melahirkan karyanya. Ini karena Yan mencoba menggali apa yang ia ingat tentang kisah yang berangkat dari kenyataan masa kecilnya.

Aku dalam buku Aku Si Anak Kolong tak lain dan tak bukan adalah citraan dari penulis. Ia menorehkan kira-kira 40 persen cerita fiksi agar kisahnya terkemas menjadi sebuah cerita yang hidup.

Yan menulis dengan keinginan menceritakan kepada khalayak perihal kondisi bangsa yang ia alami pada masa genting. Tulisan itu diilhaminya dari buku-buku karya beberapa sastrawan Rusia, yang ia sebut muncul setelah bangsanya mengalami kondisi serupa. Maka itu, perlu waktu untuk menghidupkan cerita melalui kalimat-kalimatnya.

Yan menulis dengan cukup tergebas. Pasalnya, di sela kesibukan, kira-kira dalam sehari, ia cuma punya waktu pukul 05.00 sampai 07.00 untuk menyicil beberapa paragraf. Hari-harinya diisi dengan kesibukan menjalankan tugas sebagai cendekiawan.

Tak biasa menulis buku sastra, Yan juga menjahit kata sambil belajar untuk membuat pola, dengan referensi karya sastra humor seperti Si Doel Anak Betawi dan Lenggang Jakarta. “Pada waktu saya menulis, saya mencari satu pola meski loncat-loncat,” katanya.

Baca Juga: 20 Quotes Sastrawan Indonesia yang Bakal Mengubah Hidupmu Seketika

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya