66 Jam yang Menegangkan: Kronologi Jelang Soeharto Lengser
“Saya kapok,” kata Soeharto
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Meskipun tuntutan agar Presiden Soeharto mundur kian gencar, kalangan elite politik pada kurun waktu Mei 1998 belum yakin bahwa penguasa Orde Baru tersebut mau memenuhi janjinya untuk lengser keprabon madeg pandhito. Alias, turun dari jabatan presiden kemudian menarik diri dari hiruk-pikuk kekuasaan politik.
Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid saat itu mengingatkan untuk diambil jalan tengah, yakni presiden menyampaikan pidato di depan rakyat yang berisi akan melakukan koreksi total atas kesalahan selama ini dan menyatakan mundur dalam waktu secepat-cepatnya.
Dari kalangan mahasiswa yang sudah berbulan-bulan menuntut dilakukannya reformasi, ada enam tuntutan.
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya
- Laksanakan amandemen UU 1945
- Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
- Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
- Tegakkan supremasi hukum
- Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Melihat perkembangan situasi, Nurcholis Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur menggelar jumpa pers pada 17 Mei 1998 di Hotel Wisata, Jakarta. Cak Nur menyampaikan idenya untuk mempercepat pemilu, paling lambat pada 2000. Keesokan harinya, media massa memuat ide Cak Nur. Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid dikabarkan tertarik dengan ide itu.
Lalu, mulailah proses 66 jam mendorong proses reformasi. Penuh kejutan. Begini kronologinya, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, termasuk Mingguan Berita Gatra dan Majalah Panji Masyarakat.
Baca Juga: BPN Beberkan Sosok di Balik Kemenangan 62 Persen Prabowo-Sandiaga
1. Senin, 18 Mei 1998
Sekitar pukul 15.00 WIB, Saadillah Mursjid mengundang Cak Nur datang bersama Fahmi Idris dan Utomo Dananjaya. Selain tokoh senior HMI, ketiganya juga mrupakan kawan dekat Cak Nur dan aktif di Yayasan Paramadina yang didirikannya. Setelah Cak Nur memaparkan gagasannya, Saadillah mengatakan, “Doakan saya, mudah-mudahan saya diberi kekuatan untuk menyampaikan ini kepada Presiden Seharto.”
Pukul 15.30 WIB, Ketua DPR/MPR Harmoko mengumumkan hasil rapat Pimpinan DPR yang meminta agar Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Pernyataan itu diikuti dengan pengiriman surat melalui kurir agar mereka bisa bertemu dengan presiden untuk konsultasi.
Pukul 19.00 WIB, Saadilah meminta Cak Nur datang ke Jalan Cendana, kediaman pribadi Presiden Soeharto di kawasan Menteng, Jakarta. Utomo dan Fahmi juga diminta datang melalui Cak Nur. Utomo tak sempat dihubungi. Fahmi tak mau datang karena ada masalah keamanan yang sangat ketat di Jalan Cendana. Cak Nur meminta dijemput dengan mobil agar gampang masuk ke sana.
Pukul 20.00 WIB, di Markas Besar ABRI, Panglima ABRI Jendral Wiranto memberikan konferensi pers yang menyatakan bahwa pernyataan pers Ketua DPR/MPR Harmoko pada sore hari itu adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif.
Pukul 20.30 WIB, Cak Nur bertemu Presiden Soeharto, didampingi pengusaha Probosutedjo dan Saadillah Mursjid. Probosutedjo adalah saudara Soeharto. Cak Nur menerangkan kembali gagasannya dan mengatakan bahwa yang dikehendaki orang adalah turunnya Pak Harto.
Sambil menyandarkan tangan di belakang kepala, Pak Harto bilang, “Ya, dari dulu memang saya mau turun. Saya kapok.” Cak Nur bilang, “Kalau menurut bahasa Jombang bukan kapok, melainkan sampean itu tuwuk.” Lalu, Pak Harto minta bertemu dengan beberapa orang, termasuk Cak Nur. Waktunya, Selasa pagi.
Saadillah memberikan nama-nama yang mungkin bisa diundang, yaitu Dr. Anwar Harjono, KH Ali Yafie, KH Ilyas Ruchiyat, dan sebagainya. Abdurrahman Wahid disebut sendiri oleh Pak Harto, Cak Nur bilang, “Bagaimana dengan teman sekolah saya?” Pak Harto bertanya, “Siapa?” Ketika disebut nama Amien Rais, Pak Harto bilang, “Wah, nanti dulu deh.”
Baca Juga: Tak Penuhi Panggilan Pemeriksaan, Eggi Ingin Tunggu Hasil Praperadilan