TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tiga Kejanggalan Penolakan Praperadilan Ravio Patra Versi Kuasa Hukum

Disuruh damai melulu sama Pak Hakim gaes!

(Aktivis Ravio Patra) Facebook/Ravio Patra

Jakarta, IDN Times - Tim Kuasa Hukum aktivis Ravio Patra yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK) mengungkapkan setidaknya ada tiga kejanggalan dalam putusan yang disampaikan Hakim Nazar Effriadi dalam persidangan pada Selasa 14 Juli 2020 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Dalam putusannya, Hakim menolak seluruh dalil permohonan praperadilan yang diajukan oleh Kuasa Hukum Ravio Patra karena sependapat dengan jawaban dari pihak Termohon, yaitu Kuasa Hukum Kapolda Metro Jaya.

Apa saja kejanggalannya?

Baca Juga: Kronologi Lengkap Penangkapan Ravio Patra Versi Polisi

1. Hakim mendorong kedua pihak berdamai dalam sidang praperadilan

Ilustrasi Hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Pertama, KATROK mencatat Hakim 28 kali mendorong semua pihak untuk berdamai pada persidangan. Padahal, menurut KATROK dalam hukum acara praperadilan tidak mengenal perdamaian.

"Sehingga Hakim Nazar Effriadi tidak memiliki kewenangan untuk mendorong para pihak melakukan perdamaian dalam tugasnya sebagai Hakim di sidang praperadilan," ujar KATROK dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times pada Rabu (15/7/2020) malam.

2. KATROK menilai hakim tidak menimbang alat bukti yang diajukan

Facebook Ravio Patra

Selain itu, KATROK menilai Hakim tidak mempertimbangkan alat bukti berupa tiga orang saksi, 1 saksi ahli, dan 13 alat bukti lain seperti surat dan video yang diajukan pemohon. Sementara, Hakim hanya mempertimbangkan alat bukti surat dari Termohon di mana banyak kejanggalan dalam informasi administrasi yang ada dalam surat-surat tersebut.

"Hakim tidak membandingkan alat bukti Termohon dengan keterangan saksi, ahli, dan bukti lain yang diajukan KATROK. Padahal jika dibandingkan, maka Hakim dapat menemukan kejanggalan tersebut," jelas KATROK.

3. Hakim dinilai tak mempertimbangkan tidak adanya surat persetujuan penyitaan

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Ketiga, KATROK menilai Hakim tidak mempertimbangkan tidak adanya surat persetujuan penyitaan dari Ketua PN Jakarta Pusat dalam penyitaan barang-barang milik Ravio sebagai bukti. Menurut KATROK, dengan tidak adanya alat bukti formil dari penyitaan yang berdasarkan pasal 38 (2) KUHAP, seharusnya penyitaan yang dilakukan oleh Kepolisian Polda Metro Jaya dapat dinyatakan tidak sah.

"Namun anehnya, Hakim tetap mengatakan penyitaan dilakukan secara sah tanpa menjelaskan dasar dari pertimbangan tersebut," jelasnya.

Baca Juga: Ravio Patra Beberkan Sejumlah Kejanggalan dalam Penangkapannya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya