TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

RCTI Gugat UU Penyiaran Dinilai Berpotensi Rusak Keterbukaan Informasi

Siaran konten-konten Youtube akan terancam

Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Jakarta, IDN Times - Dua perusahaan media di bawah naungan MNC Grup, yaitu PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV), mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam gugatannya, mereka meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali tunduk kepada UU Penyiaran. Dalam hal ini termasuk siaran menggunakan internet.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun berharap gugatan tersebut tidak dikabulkan. Sebab, hal itu berpotensi melanggar pasal 28F UUD 45.

"Saya berharap jangan dikabulkan. Karena itu kan berpotensi melanggar pasal the right to information. Sekarang kan orang bisa menikmati kreativitas perorangan," ujarnya kepada IDN Times, Kamis (27/8/2020).

Baca Juga: RCTI Minta YouTube dan Netflix Diawasi, Begini Reaksi KPI

1. Bunyi pasal 28F UUD 45

Ilustrasi Hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Dikutip dari ringkasan Mahkamah Konstusi RI, pasal tersebut mengatur hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Berikut bunyi pasal tersebut:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

2. Bila ada masalah perilaku, maka menjadi tanggung jawab pribadi

Ilustrasi Hakum (IDN Times/Sukma Shakti)

Refly mengatakan bila RCTI menuntut terkait potensi adanya pelanggaran terhadap perilaku dari orang yang menyiarkan, maka menjadi tanggung jawab pribadi. Menurut dia, hukuman yang diberikan bisa berbagai macam sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Masih bisa dikenakan dengan UU ITE, UU yang ada, hukum yang ada, KUHP juga bisa, jadi gak ada masalah," tutur dia.

"Itu seperti mau menghadang media-media alternatif melalui paltform media sosial. Kalau menurut kalau melihat yang mengajukannya korporasi semacam RCTI. Karena memang yang namanya televisi itu mulai bergeser sekarang," tambah dia.

3. YouTube dan Netflix mendapat sorotan dalam gugatan RCTI

Ilustrasi Netflix (IDN Times/Lia Hutasoit)

Bahwa perkembangan internet yang begitu pesat tersebut telah melahirkan berbagai macam platform digital yang dikenal dengan layanan Over the Top (selanjutnya disebut dengan OTT). Secara sederhana OTT dapat dipahami sebagai layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi.

Adapun layanan OTT sendiri dapat dibagi menjadi paling tidak 3 (tiga) kategori yaitu: (i) aplikasi seperti WhatsApp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya; (ii) konten/video on demand/streaming seperti Youtube, HOOQ, IfIix, Netflix, Viu dan lain sebagainya); atau (iii) jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber dan lain sebagainya.

4. RCTI merasa dirugikan sebagai lembaga penyiaran

Studio RCTI di Jalan Perjaungan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat (Google Street View)

Sementara, dalam risalah persidangan perdana gugatannya di MK, dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020, pada 22 Juni 2020, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menggugat bersama perusahaan grupnya, PT Visi Citra Mitra Mulia (INEWS TV). Mereka menggungat perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran [Pasal 1 angka 2] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pihak RCTI mengaku dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran, karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda, unequal treatment, antara RCTI sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spectrum frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

RCTI menganggap tidak ada kepastian hukum, jika memang penyiaran OTT dengan lembaga penyiaran perlakuannya berbeda. RCTI menganggap aturan tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Padahal dalam sebuah siaran, lembaga penyiaran harus melalui persyaratan penyelenggaraan penyiaran seperti perizinan penyelenggaraan penyiaran, pedoman mengenai isi dan bahasa siaran, pedoman perilaku siaran, dan yang tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Baca Juga: RCTI Gugat UU Penyiaran ke MK, Minta Netflix dan YouTube Patuhi Aturan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya