TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Kritikan ke Jokowi dan Pemerintah Berujung di Kepolisian Selama 2020

Para tersangka umumnya dijerat UU ITE

(Aksi Kamisan) IDN Times/Margith Juita Damanik

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko “Jokowi” Widodo baru-baru ini meminta masyarakat agar lebih aktif mengkritik, memberi masukan atau potensi maladministrasi mengenai layanan publik. Tujuannya agar kualitas pelayanan publik terus diperbaiki menjadi lebih baik.

Melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman juga mengklaim pemerintah tak pernah menggunakan buzzer di media sosial untuk menyerang para pengkritiknya.

Namun banyak kalangan menilai, ajakan Jokowi hanya ungkapan tidak serius. Sebab, kenyataannya banyak yang mengkritik pemerintah, justru berujung di meja hijau. Mereka dilaporkan ke polisi, kemudian dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Berikut IDN Times merangkum kritikan sejumlah pihak yang berujung tindak pidana dan berujung di meja hijau:

Baca Juga: Jokowi Dorong Publik Lebih Aktif Sampaikan Kritik, YLBHI: Ironi!

1. Eks anggota TNI Ruslan Buton ditangkap karena mengkritisi Jokowi

Eks Anggota TNI AD Ruslan Buton ditangkap karena meminta Jokowi untuk mundur (Dok. Istimewa)

Eks anggota TNI Ruslan Buton harus berhadapan dengan meja hijau atas tuduhan kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian. Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020, hingga rekaman suara itu viral di media sosial.

Dalam video tersebut, Ruslan mengkritik kepemimpinan Jokowi. Menurutnya, solusi terbaik untuk menyelamatkan Indonesia adalah Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden.

Ruslan dijerat Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas kritikan yang ia buat di media sosial.

Hingga kini, Ruslan masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

2. Petinggi KAMI ditetapkan menjadi tersangka

Syahganda Nainggolan [nomor dua dari kanan]. (IDN Times/Helmi Shemi)

Sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap pada Selasa, 13 Oktober 2020 atas tuduhan penghasutan. Mereka di antaranya Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Khairi Amri (KA), dan Anton Permana (AP).

Mereka diduga menyebarkan berita bohong terkait omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang memicu kerusuhan saat demonstrasi di Jakarta. Atas hal tersebut keempat tersangka dikenakan Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A Ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016, tentang Perubahan UU ITE dan Pasal 160 KUHP dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Kasus ini masih berjalan di pengadilan.

3. Aktivis Dandhy Dwi Laksono ditangkap karena kritik Jokowi soal kebijakan di Papua

Dandhy Dwi Laksono (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Aktivis Dandhy Dwi Laksono ditangkap empat personel polisi di kediamannya pada 26 Desember 2019 pukul 22.45 WIB atas tuduhan menebar ujaran kebencian dan melanggar Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE, dan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHPidana atas unggahan di media sosial mengenai Papua.

Konten yang dipublikasikan Dandhy menampilkan foto warga Papua yang menjadi korban kekerasan aparat di Wamena dan Jayapura. Dandhy telah dipulangkan namun dengan status sebagai tersangka, kendati polisi tidak melakukan penahanan pada Dandhy.

Berikut isi unggahan Dandhy di Twitter sebagai berikut :

JAYAPURA (foto 1). Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.

WAMENA (foto 2). Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.

4. Ravio Patra aktivis yang ditangkap usai kritik Staf Khusus Presiden

(Ravio Patra/Facebook)

Berikutnya, aktivis yang mengkritik pemerintah dan akhirnya ditangkap polisi adalah Ravio Patra atas dugaan penyebaran informasi bernada provokasi. Rivanto diduga mengirimkan sebuah pesan singkat berupa ajakan penjarahan, namun dia membantah mengirimkan pesan tersebut dan mengaku akun nomor WhatsAppnya diretas.

Selain itu, Ravio sempat mengkritik Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar yang diduga kuat terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua sampai tentang penanganan COVID-19 yang dilakukan pemerintah.

Polisi menjerat Ravio dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan), Pasal 14 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 160 KUHP, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ravio akhirnya dipulangkan dan hanya didatangkan sebagai saksi. Dia sempat melaporkan balik kepada polisi karena merasa sebagai korban peretasan.

"KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR! AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO DI DEKAT KITA BEBAS DIJARAH," demikian isi pesan pendek yang diduga disebar dari nomor Ravio.

Baca Juga: Fadjroel Bantah Pemerintah Pakai Buzzer untuk Hadapi Kritik 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya