TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

100 Dokter Gugur, PKS Sarankan Istana Buatkan Monumen

Monumen itu sebagai pengingat dan upaya mengenang

Petugas kesehatan menyuntikan vaksin kepada relawan saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Jakarta, IDN Times - Per 31 Agustus 2020, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mencatat sebanyak 100 dokter wafat semenjak pandemik COVID-19 merebak di Indonesia yang dimulai pada awal Maret 2020. Persentase kematian dokter yang terjangkit COVID-19 terbanyak berada di Pulau Jawa, yakni sebesar 65 persen.

Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, lantas mengusulkan agar para tenaga medis yang wafat dibuatkan monumen di depan Istana Negara.

“Nama-nama mereka yang dicatat secara terkini untuk dikenang oleh publik sekaligus wujud penghargaan kepada mereka. Selain itu, monumen ini juga bisa berfungsi sebagai peringatan bahwa kematian adalah juru nasihat yang paling jitu,” kata Bukhori lewat keterangan tertulisnya, Senin (31/08/2020).

Lalu bagaimana pandangan Bukhori terhadap penanganan COVID-19 oleh pemerintah?

Baca Juga: Indonesia Berduka, 100 Dokter Meninggal akibat COVID-19

1. Aspek kesehatan terabaikan oleh pemerintah

ANTARA FOTO/Umarul Faruq

Bukhori sendiri menyesalkan angka kematian tenaga medis yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Menurutnya, bertambahnya angka kematian tenaga medis tersebut merupakan konsekuensi dari model penanganan COVID-19 oleh pemerintah yang lemah dalam memprioritaskan aspek kesehatan.

“Hilangnya nyawa 100 orang dokter merupakan jumlah yang amat signifikan apabila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan dokter yang kita miliki saat ini, yakni hanya sekitar 168 ribu dokter. Mereka adalah aset bangsa yang amat mahal. Meski pun kita tahu bahwa kematian ada di tangan Allah, akan tetapi proses bagaimana mereka gugur itu lah yang seharusnya bisa diantisipasi. Ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah supaya di waktu mendatang tidak ada lagi hari berkabung,” ujar Bukhori.

2. Penyerapan anggaran belum efektif

Ilustrasi Lorong Rumah Sakit (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Bukhori menilai tindakan pemerintah yang seolah menomorduakan aspek kesehatan bisa dicermati dari sisi lemahnya segi anggaran yang dikucurkan serta daya serap anggaran oleh Kementerian Kesehatan terkait penanganan COVID-19.

Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan anggaran penanganan COVID-19 yang semula Rp405,1 Triliun menjadi Rp677,2 Triliun atau membengkak sebesar 67 persen.

Dalam perubahan postur anggaran yang baru, anggaran untuk korporasi jauh lebih besar, yakni sekitar Rp120 triliun jika dibandingkan dengan anggaran untuk bidang kesehatan yang hanya berkisar Rp87 triliun. Ironisnya terhitung sampai bulan Juli 2020, serapan anggaran kesehatan ini baru mencapai Rp4,4 triliun atau sekitar 5 persen saja.

“Artinya, kegagapan pemerintah dalam menentukan skala prioritas ternyata berakibat fatal, yakni hilangnya nyawa anak bangsa. Sekali lagi, kita benar-benar dibuat merinding ketika dihadapkan fakta bahwa sudah 100 dokter yang wafat akibat COVID-19 ini. Bertambahnya angka kematian tenaga medis ini tidak boleh dimaknai sebagai angka statistik semata,” ujarnya.

Baca Juga: IDI: Jumlah Tenaga Medis Harus Ditambah di Wilayah Episentrum

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya