TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar Hukum: Penulis Naskah Akademik RUU HIP Tidak Utuh Kutip Sukarno

RUU HIP didasari dari pidato Presiden Sukarno

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila yang Pasal 7 yang memuat tentang Trisila dan Ekasila dikritik oleh banyak kalangan. Dalam pasal tersebut menjelaskan salah satu ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

Menanggapi hal tersebut pakar hukum dari Universitas Bung Hatta Padang Miko Kamal mengatakan penulis naskah akademik RUU HIP tidak utuh dalam mengutip pidato gagasan Presiden Sukarno itu dalam rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945.

“Pidato Sukarno tersebut masih ada sambungannya yang jika disatukan, maknanya akan berbeda. Sukarno pada ujung paragraf pidatonya menyampaikan; ‘Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa’,” kata Kamal lewat keterangan tertulisnya, Selasa (23/6).

Baca Juga: PKS Sebut RUU HIP Hilangkan Roh Sila Pertama Pancasila

1. Indonesia adalah negara yang bertuhan

Arsip Perpusnas

Serupa dengan cara mengutip bagian pidato Sukarno ketika menjelaskan terminolog Ketuhanan yang Berkebudayaan kata Kamal, Sukarno di ujung paragraf pidatonya itu menjelaskan, "Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan".

“Makna negara yang bertuhan yang disampaikan Sukarno terdapat pada kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip ketuhanan adalah: ‘Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya’,” ujar Kamal.

2. Diksi ‘tidak egoism agama’ jadi bermakna liar

Arsip Perpusnas

Pidato Sukarno pada bagian ketuhanan menurut Kamal sudah sangat jelas bahwa Sukarno menginginkan negara merdeka yang akan didirikan adalah negara yang bangsanya beragama sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Di tangan penulis akademik, lanjut Kamal, karena pidato Sukarno tidak dikutip secara utuh, diksi ‘tidak egoism agama’ bisa bermakna lain. Misalnya, agama itu sama.  
 
“Jika memang benar ini maksudnya, bagi sebagian besar umat beragama (terutama umat Islam) pikiran ini sangat tidak pantas. Semua agama yang diakui negara pasti tidak sama dalam pandangan para pemeluknya masing-masing. Bagi pemeluk Islam sudah jelas panduannya di dalam Surat Al-kafirun ayat 6, ‘untukmu agamamu, dan untukku agamaku’,” kata Kamal.

Baca Juga: Hadiri Rapat Paripurna, Fraksi PDIP dan PKS Debat soal RUU HIP

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya