TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pasal-Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja yang Dikritik Publik

Pemerintah bilang isi di draf tak seperti yang dikritik

Buruh menolak RUU Omnibus Law karena dianggap menghilangkan hak hak buruh (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jakarta, IDN Times - Omnibus Law RUU Cipta Kerja rencananya akan disahkan oleh DPR RI hari ini, Kamis (16/7/2020). RUU Cipta Kerja mendapat sorotan sejumlah pihak karena dianggap mengandung sejumlah kontroversi.

Istilah Omnibus Law pertama kali dicetuskan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo saat pidato pelantikan presiden dan wakil presiden di Senayan pada 20 Oktober 2019 lalu. Jokowi mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Kerja dan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait dalam satu undang-undang alias omnibus law.

Mantan Gubernur DKI Jakarta saat itu mengatakan Omnibus Law akan menyederhanakan aturan atau regulasi yang berbelit sehingga menghambat investasi. Namun, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law menuai polemik, apa saja kontroversinya?

Baca Juga: [BREAKING] Jika Omnibus Law Disahkan, Ini Ancaman Buruh di Sumut

1. Mendagri bisa pecat kepala daerah

Mendagri Tito Karnavian memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat 3 Januari 2020 (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Kewenangan pemberian sanksi teguran dan pemecatan kepala daerah oleh Mendagri tercantum dalam Pasal 520. Pada ayat 1 pasal tersebut, kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Mendagri.

Pada ayat (2), Mendagri berwenang memberhentikan selama tiga bulan kepala daerah yang tidak mengindahkan teguran tertulis. Lalu pada ayat (3), Mendagri diberi kuasa penuh untuk memecat kepala daerah yang masih tidak patuh.

Sementara itu, Mendari Tito Karnavian memastikan belum ada pasal tersebut dalam draf omnibus law. Apabila benar ada pasal tersebut, Tito akan menurunkannya dari draf omnibus law.

"Pertama, saya mau koreksi di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, saya sudah cek belum ada pasal mengenai pemberhentian kepala daerah oleh Mendagri atau Presiden. Kalaupun ada, tidak akan kita... saya sebagai Mendagri meminta itu didrop (diturunkan)," kata Tito di Kompleks DPR RI, Selasa (22/1).

Tito beralasan soal pemberhentian gubernur atau kepala daerah telah dibahas di dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Kepala Daerah. Di dalam UU tersebut telah diatur proses pemberhentian kepala daerah.

"Kenapa? Karena sudah ada UU-nya, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Kepala Daerah, baca pasal 67, 68, 69, 76, sampai 89. Di situ berisi tentang bahwa kepala daerah diberhentikan oleh Presiden, satu bila meninggal dunia, dua kalau seandainya mengundurkan diri, yang ketiga diberhentikan," ujar Tito.

"Nah diberhentikan ini salah satunya karena tidak melaksanakan program strategis nasional, yang kedua misalnya meninggalkan tempat berturut-turut tanpa izin selama 7 hari atau akumulatif tidak berturut-turut selama 1 bulan, teguran pertama, teguran kedua, itu dapat diberhentikan temporer tiga bulan," sambungnya.

2. Pesangon akan dihapus

Aksi penolakan Omnibus Law. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Dalam draf rancangan Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat 11 klaster antara lain; penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset & inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah dam kawasan ekonomi.

Salah satu yang juga menjadi sorotan publik yakni terkait rumor tentang rancangan Omnibus Law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan khususnya terkait penghapusan pesangon.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah membantah pemerintah akan menghilangkan pesangon dalam Omnibus Law. Menurutnya, isi Omnibus Law akan disampaikan oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

"Gak. Gak benar pesangon dihilangkan," kata Ida di Jakarta, Selasa (14/1).

Sementara itu, dalam draf terkait rancangan Omnibus Law klaster ketenagakerjaan soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tertulis apabila karyawan di-PHK tetap mendapat kompensasi PHK.

Berikut isi lengkap aturan tersebut:

Pokok Kebijakan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK):

- Tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK
- Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan kompensasi PHK.
Penjelasan:

a. Pemerintah menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK.
b. JKP memberikan manfaat berupa: 1) Cash Benefit, 2) Vocational Training, 3) Job Placement Access.
c. Penambahan manfaat JKP, tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.
d. Pekerja yang mendapatkan JKP, tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa: 1)Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), 2)Jaminan Hari Tua (JHT), 3)Jaminan Pensiun (JP), 4)Jaminan Kematian (JKm).
e. Untuk memberikan perlindungan bagi pekerja kontrak, diberikan perlakuan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.

3. Skema upah buruh diubah jadi per jam

Aksi penolakan Omnibus Law. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Omnibus Law juga mengubah aturan skema upah per bulan menjadi per jam menimbulkan pertentangan konstitusi. Baik itu UUD 1945 maupun UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal pengupahan.

Adanya perubahan skema upah per jam, menurut banyak pengamat akan membuat keberadaan UMP terkikis dan perlahan akan menghilang. Perusahaan dikhawatirkan akan bersikap semena-mena atas upah yang diberikan pada pekerja. Kemudian akan berdampak pada masyarakat miskin. 

Jaminan sosial yang diberlakukan atas adanya standar UMP, dipastikan akan ditiadakan. Hal itu terjadi karena pengusaha merasa tidak lagi memiliki tanggung jawab atas pembayaran jaminan sosial lagi.

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, skema gaji per jam tidak berlaku untuk seluruh buruh dan aparatur negara. Skema itu ditujukan untuk sektor jasa seperti konsultan dan pekerja paruh waktu.

"Kalau pekerja pabrik tetap gaji bulanan," kata Menko Airlangga di Jakarta Pusat, Jumat (27/12/19).

Menko Airlangga menjelaskan, pekerja yang sudah menerima gaji bulanan tak akan terimbas wacana ini. Mereka akan tetap dibayar sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan.

4. Menghapus upah minimum

Aksi RUU Omnibus Law. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan terdapat enam alasan mengapa kaum buruh atau pekerja menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang disusun pemerintah. Salah satunya menolak penghapusan sistem upah minimum.

"Omnibus Law tersebut mengisyaratkan akan menghapus sistem upah minimum," kata dia saat aksi unjuk rasa di depan Gedung MPR, DPR dan DPD RI di Jakarta, Senin (21/1).

Ia mengatakan penerapan upah per jam tersebut akan mengakibatkan upah minimum terdegradasi bahkan hilang. "Tentunya hal itu merugikan kaum buruh dan pekerja di Tanah Air," ucapnya.

Baca Juga: Sah! 50 RUU Prioritas Masuk Prolegnas 2020, Termasuk 4 Omnibus Law

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya