TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Saat Keluargamu Jadi Alasan Ingin Bunuh Diri, Bagaimana Solusinya?

Di Indonesia, depresi dan bunuh diri sering dianggap sepele

Ilustrasi (IDN Times/Isidorus Rio)

Jakarta, IDN Times - Depresi dan bunuh diri adalah isu kesehatan mental yang kerap menjadi topik yang kurang dibahas dan diberi perhatian serius di masyarakat Indonesia. Tak sedikit pengidap depresi diberi label oleh masyarakat sebagai pribadi yang lemah secara fisik dan psikis.

Padahal, asal tahu saja, depresi jauh lebih kompleks dari hal itu. Menurut ahli kesehatan jiwa, Nova Riyanti Yusuf, depresi dan gangguan bipolar adalah dua penyakit mental yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri. Bipolar sendiri sederhananya adalah penyakit kejiwaan yang membuat penderitanya mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis.

Di ranah global, depresi sendiri memang jadi isu penting. Badan Kesehatan Dunia, WHO (World Health Organization), menyebutkan bahwa depresi menjadi penyakit dengan angka kasus tertinggi kedua di dunia setelah penyakit jantung.

Bunuh diri, yang biasanya diawali oleh depresi, turut menjadi isu penting. Menurut data dari Into The Light Indonesia, komunitas pencegah bunuh diri di Indonesia, sebanyak 800 ribu jiwa meninggal dunia per tahunnya karena bunuh diri, yang berarti bunuh diri telah merenggut 1 nyawa tiap 40 detik.

Bunuh diri di Indonesia layak jadi perhatian serius karena menurut Into The Light Indonesia, penanganan yang kurang tepat dan kurang bijak dalam menangani isu ini, akan membuat Indonesia kehilangan sumber daya manusia unggul.

Maka dari itu, untuk tahap awal memahami apa itu depresi, kita wajib mengetahui apa faktor penyebab penyakit kejiwaan tersebut. Sebagai referensi, menurut Nova Riyanti, faktor lingkungan adalah penyebab terbesar seseorang mengalami depresi. Misalnya faktor ekonomi, perceraian orangtua, hingga perasaan bersalah terhadap sesuatu.

Lalu, muncul pertanyaan: Bagaimana jika keluarga kita sendiri yang menyebabkan depresi? Apa solusinya? Apa yang harus dilakukan?

IDN Times berupaya menjawab pertanyaan penting di atas. Kami mewawancarai salah satu penyintas depresi yang mampu sembuh dari hal itu dan kini sehat lagi seperti sedia kala.

1. Saat keluarga atau orangtua kita toxic, itu bukan hal yang memalukan untuk mengakuinya

Ilustrasi depresi. https://www.pexels.com

Kami mewawancarai Mila (bukan nama sebenarnya), terkait depresi yang pernah ia alami. Mila kini berusia 24 tahun (ia berusia 23 tahun kala mengalami depresi), ia adalah perempuan yang mapan secara karier, punya latar pendidikan yang baik, namun itu nyatanya tak membuatnya aman dari depresi. Ini juga bukti bahwa depresi bisa menyerang siapa saja.

"Gue anak sulung, adek gue satu, cewek juga. Dulu pas alami depresi, gue punya pekerjaan yang alhamdulillah cukup mapan, plus gue juga berpendidikan. Makanya gue bilang sekarang, depresi itu gak pandang bulu. Semua orang bisa kena and it's totally okay to admit it," ujar Mila.

Mila berkisah, depresi yang ia alami, penyebabnya datang dari keluarganya sendiri. Menurutnya, ia benar-benar kecewa dengan cara keluarganya memperlakukannya kala itu dan itu sangat membuatnya depresi.

"Gue dulu dibesarkan dengan pemahaman bahwa keluarga itu gak akan nyakitin kita, selalu melindungi, dan gak akan mengecewakan. Tapi kemudian, di gue, hal itu gak benar sama sekali. Gue saat itu benar-benar kecewa dengan keluarga gue dan itu ternyata membuat depresi. Akhirnya, salah satu tante gue menyarankan gue ikut terapi dan alhamdulillah, itu sangat membantu. Gue sangat menyarankan buat yang mengalami hal yang sama persis kayak gue, bahwa itu bukan hal yang memalukan kok kalau lo depresi karena keluarga lo sendiri," jelas Mila.

Mila sendiri menolak menjelaskan masalah keluarganya dan kami sangat menghargai privasi dia terkait hal itu. Namun, Mila sendiri dengan terbuka mau berbagi cerita terkait apa yang dulu ia alami di pengujung tahun 2018 tersebut

Baca Juga: Magic Mushroom Akan Segera Jadi Obat Depresi, Jangan Disalahgunakan!

2. Apa yang dirasakan tubuh ketika depresi dan bagaimana tahap awal mengobatinya?

Ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

"Rasanya kayak badan gue capek terus. Mau tidur lama pun, badan tetap capek. Terus leher sama punggung gue saat itu pegal terus. Gue cek ke dokter, ternyata gak ada sakit apa-apa secara fisik. Cuma saat itu tante gue, dia kayaknya cukup peka, menyarankan untuk pergi ke psikolog buat terapi," kata Mila.

Menurut Mila, pergi ke psikolog itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah ia lakukan. Di sana, ia berbagi banyak hal dengan sang terapis dan membantunya sedikit demi sedikit mengobati depresinya.

"Gue waktu itu ketemu psikolog di Bogor dan diajak melakukan yang namanya play therapy. Di situ gue dikasih mainan macam-macam, kayak mainan anak-anak, tapi nanti apa yang gue bikin dari mainan itu, kata si terapis, menunjukkan apa yang gue alami. Jadi kayak ekspresi alam bawah sadar kita," jelas Mila.

"Gue gak pernah cerita gue depresi karena apa, tapi pas kelar susun mainan itu, terapis ini tanya 'ini masalah karena keluarga?', terus gue kayak kaget gitu. Dan di situ gue akhirnya terbuka sama dia dan punya teman berbagi itu melegakan banget," ungkap Mila.

3. Orang yang depresi butuh telinga untuk mendengar, bukan mulut yang memberi nasihat

naturalpractitionermag.com

Satu hal penting dan sangat krusial yang dipelajari Mila dari depresi yang dialaminya adalah punya teman berbagi cerita itu sangat membantu ia berproses untuk sembuh seperti sedia kala.

"Intinya yang gue pelajari adalah lo harus punya minimal satu aja teman yang mau dengerin semua yang lo keluhkan apa pun itu. Dan teman lo ini harus benar-benar sedia kuping, karena orang depresi itu cuma mau didengar, bukan dinasihati. Ini yang menurut gue sering salah dilakukan orang-orang, karena kalau ada teman lo curhat dia lagi stres, terus dinasihati, itu malah ngeselin dan makin depresi lagi. Itu asumsi gue ya," jelas Mila dengan nada bicara yang kali ini sangat serius.

4. Depresi sangat mungkin berujung keinginan bunuh diri dan langkah awal mengatasinya adalah berbagi cerita dengan orang terdekatmu

Ilustrasi. pexels.com

Mila menceritakan bahwa depresi yang ia alami juga membuatnya sempat berpikir untuk bunuh diri. Dia bahkan sempat mencari referensi cara untuk bunuh diri.

"Gue dulu sampai googling cara bunuh diri yang paling gak sakit karena gue takut sakit tapi gak takut mati. Cuma beruntungnya, gue punya support system, karena sebab depresi gue kan orangtua sendiri, jadi butuh banget orang dari luar keluarga gue. Gue gak mungkin cerita ke tante, karena waktu itu takut dia malah cerita ke bokap gue, walau dia juga yang menyarankan ke terapis. Waktu itu, beruntungnya gue, gue punya pasangan yang benar-benar dukung dan selalu mau jadi pendengar yang baik. Yang gue maksud pendengar baik ini dia benar-benar mendengarkan dan gak nge-judge apa pun. Ya cuma modal kuping aja pokoknya, karena orang depresi butuh banget itu," jelas Mila.

Mila menambahkan, waktu itu ia butuh waktu sekitar 3 bulan untuk benar-benar sembuh dan bisa pulih lagi seperti sedia kala secara mental.

Spesifik ke bunuh diri sendiri, di Indonesia sangat sulit mencari data pasti berapa angka bunuh diri tiap tahunnya di negeri ini. Dikutip dari WHOdata terakhir yang tercatat di badang kesehatan dunia milik PBB tersebut, ada 840 kasus yang terjadi di Indonesia, namun itu adalah data di tahun 2013. Bahkan, di tahun 2005, angka bunuh diri di Indonesia pernah menembus angka 30.000 kasus.

Baca Juga: 5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan untuk Bantu Teman yang Mengalami Depresi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya