TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

SETARA Institute: Pemilu Hendaknya Jadi Wadah Konsolidasi Demokrasi 

Ketua SETARA Institute Hendardi tanggapi Pemilu 2019

IDN Times/Fitang Adhitia

Jakarta, IDN Times - Pemilu 2019 telah dilaksanakan pada Rabu (17/04) lalu. Namun, polemik mengenainya masih terus bergulir, salah satunya klaim kemenangan serta dugaan kecurangan quick count.

Ketua SETARA Institute, Hendardi, pada hari ini, Senin (22/04), angkat suara menanggapi Pemilu 2019.

Baca Juga: Kubu Prabowo Siap Ekspose Data Real Count Internalnya

1. Penghitungan suara lembaga survei dianggap akurat

Pexels.com/Lukas

Sebagian besar pollsters atau lembaga survei yang sudah memiliki reputasi telah melakukan finalisasi laporan hasil Pemilihan Umum 2019. Mereka pun telah membuka dapur datanya pada Sabtu (20/4) lalu, difasilitasi oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI).

Hasil quick count Pemilu 2019 yang dilakukan lembaga survei tersebut, menyimpulkan bahwa pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul atas pasangan Prabowo-Sandiaga. Namun di sisi lain, Prabowo semakin kencang melakukan klaim kemenangan, bahkan sudah tiga kali melakukan deklarasi kemenangan.

2. Hasil Quick Count hampir setara dengan Real Count

IDN Times/Jihaan Risviani Tabriiz

Hasil quick count versi lembaga survei memang bukan hasil akhir, sebab hasil resmi pemilu secara konstitusional akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dijadwalkan pada 22 Mei 2019. Namun, quick count sendiri merupakan prosedur ilmiah yang memberikan gambaran awal hasil pemilu. Quick count juga merupakan bagian dari kontrol ilmiah atas kinerja penghitungan hasil pemungutan suara, sebagaimana juga menjadi tren di negara-negara demokratis dunia.

Menurut Hendardi, secara objektif, quick count menunjukkan bahwa hasil penghitungan suara melalui metode ini tidak berbeda jauh dengan hasil real count

3. Klaim kemenangan Prabowo

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Tiga kali deklarasi kemenangan Pilpres 2019 yang dilakukan oleh Prabowo, nyatanya menimbulkan permasalahan, baik pada aspek substantif maupun prosedural.

Deklarasi tersebut, secara faktual diikuti klaim kemenangan para pendukungnya, terutama di dunia maya dan forum-forum pengajian. Selain itu, hal tersebut juga menimbulkan propaganda yang mendelegitimasi penyelenggara Pemilu, mendestruksi secara sosial integritas Pemilu, dan tata kelola demokrasi Indonesia beserta perangkat institusi dan mekanisme di dalamnya.

"Seharusnya, seluruh elite politik dan peserta pemilu menolak setiap upaya untuk menarik mundur peradaban demokratis kita dan sebaliknya memobilisasi seluruh sumber daya politik untuk menjadikan Pemilu 2019 sebagai kanal untuk mengkonsolidasikan demokrasi Indonesia," ujar Hendardi.

Hendardi pun melanjutkan, "Jika dicermati dinamika politik kubu Prabowo, terlihat bahwa adanya kekuatan-kekuatan politik yang 'ngotot' melakukan klaim kemenangan dengan mengabaikan mekanisme dan tahapan-tahapan formal yang sedang berlangsung. Termasuk, melakukan propaganda delegitimasi dan kontra prosedur dengan institusi demokrasi konstitusional yang ada. Bukan kekuatan infrastruktur politik resmi, seperti partai politik dan politisi-politisi kontestan pemilu yang dipakai, melainkan elite-elite ormas vigilante seperti FPI, tokoh-tokoh eks dan simpatisan HTI, dan tokoh-tokoh Islam konservatif lainnya."

Baca Juga: Lelah Kawal Pemilu, 8 Petugas KPPS di Jateng Meninggal, 3 Keguguran 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya