Menolak Vaksin Disanksi, Epidemiolog: Bisa Perkuat Teori Konspirasi
Sanksi di progam vaksinasi bisa kontra poduktif
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Epidemiolog Universitas Griffth, Australia, Dicky Budiman, tak sependapat dengan aturan sanksi yang bisa diterapkan kepada penolak vaksin COVID-19. Menurutnya, penerapan sanksi dapat kontra poduktif terhadap program vaksinasi.
"Seperti kontra produktif dan (berpotensi) mendukung teori-teori konspirasi nanti berkembang. Apalagi ada vaksinasi mandiri nanti, lengkap," kata Dicky kepada IDN Times, Minggu (14/2/2021).
Sebelumnya, Presiden Joko "Jokowi" Widodo meneken Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19. Masyarakat yang sudah ditetapkan sebagai penerima vaksin, namun tidak menjalankannya, akan dikenakan sanksi.
Program vaksinasi bisa dikecualikan dari kewajiban jika calon penerima vaksin COVID-19 tidak memenuhi kriteria, misalnya dalam kondisi kesehatan yang tidak baik.
Baca Juga: [LINIMASA-5] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia
1. Sanksi berpotensi memunculkan reaksi
Dalam Perpres tersebut, disebut ada beberapa sanksi administratif bagi penolak vaksin virus corona. Misalnya penundaan atau penghentian pemberian bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan hingga sanksi denda.
Dicky menilai, sanksi-sanksi tersebut berpotensi menuai reaksi dari masyarakat. Terlebih, keberadaan sanksi yang menyangkut masalah masyarakat kurang mampu.
"Kalau belum apa-apa sudah mewajibkan, akan ada berpotensi reaksi, apalagi kalau misalnya menyangkut warga miskin," jelasnya.
Baca Juga: Para Nakes Medan Ungkap Pengalaman dan Harapan Vaksinasi COVID-19