TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bertemu Ketua MA, Komnas Perempuan Bahas Perlindungan Hukum di Aceh

Komnas Perempuan soroti kekerasan seksual di Aceh

Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam konferensi pers Amnesty International Indonesia secara daring Senin (13/12/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Agung (MA) merespons masukan dari Komnas Perempuan terkait pemenuhan jaminan hak atas kepastian perlindungan hukum pada perempuan berhadapan dengan hukum, termasuk di dalamnya pada penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh.

Komnas Perempuan melakukan dialog dengan Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Kamis (24/3/2022). Dialog itu dibarengi dengan penyerahan pertimbangan Komnas Perempuan sebagai sahabat peradilan (Amicus Curiae) atas permohonan judicial review pada Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan beberapa isu lainnya.

“Dalam konteks penyelenggaraan otonomi khusus Aceh, Komnas Perempuan menyampaikan bahwa dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat terdapat beberapa lapisan persoalan yang penting untuk disikapi oleh Mahkamah Agung karena berhubungan erat dengan akses keadilan hukum, terutama perlindungan perempuan korban pelecehan seksual dan perkosaan,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangannya, Jumat (25/3/2022).

Baca Juga: Komnas Perempuan Minta MA Tolak Uji Materiil Aturan Kekerasan Seksual

1. Bahas aspek zina dan pemindaan pelaku dengan cambuk

Ilustrasi hukuman cambuk (ANTARA FOTO/Rahmad)

Kajian Komnas Perempuan menunjukkan di aspek substansi pengaturan tentang perkosaan menyamakan dengan tidak zina, tanpa pertimbangkan kerentanan perempuan korban dan ditunjukkan dengan sumpah atau bentuk pemidanaan pada pelaku.

Pengaturan serupa juga buat perempuan korban perkosaan rentan terabaikan dengan alasan tak cukup bukti atau diskriminasi dengan delik zina karena dianggap sebagai tindakan sukarela.

Kemudian, pemidanaan pelaku berupa cambuk bisa berisiko keselamatan korban dari tindak balas dendam pasca eksekusi, cambuk juga tak sesuai dengan hukum nasional terkait upaya menghapus penyiksaan.

“Dengan pertimbangan ini, kini berdasarkan Surat Edaran MA No. 3/SEMA 10/2020, hukuman bagi pelaku pelecehan seksual dan perkosaan terhadap anak adalah pidana penjara. Namun, pengaturan ini tidak berlaku untuk kasus dengan korban perempuan di atas usia 18 tahun,” ujar Andy.

Masalahnya lain adalah penguasaan hakim agama pada hukum, pada 2021 Komnas Perempuan juga catat ada 23 perempuan dapat hukuman cambuk.

2. Revisi Qanun Jinayat yang kini tengah bergulir di Aceh

ANTARA FOTO/Rahmad

Komnas Perempuan sudah menyampaikan pertimbangan pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual sejak perumusan rancangan Qanun Jinayat. Juga, terus memberikan masukan untuk pertimbangan revisi kepada pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, serta berbagai kementerian atau lembaga di tingkat nasional yang relevan berdasarkan pengalaman perempuan. 

MA diminta lakukan langkah strategis atasi hambatan perempuan pada akses kepastian hukum di Aceh. Termasuk dalamnya adalah menggunakan peluang revisi Qanun Jinayat yang kini tengah bergulir di Aceh dengan memberikan pertimbangan untuk:

  1. Meninjau kembali Pasal 72 Qanun Jinayat yang menjadi dasar mengecualikan perlindungan hukum nasional bagi perempuan korban perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan.
  2. Memastikan pidana cambuk tidak digunakan dalam tindak perkosaan dan pelecehan seksual.
  3. Memastikan penguatan upaya pemulihan korban. Juga, memberikan perhatian pada penguatan kapasitas hakim dan pengawasan pelaksanaan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

3. Perbaikan telah disampaikan Komnas Perempuan sejak 2010

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam wawancara khusus bersama IDN Times, Senin (10/1/2022). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komnas HAM mencermati bahwa Perma Nomor 3 Tahun 2017 juga menjadi terobosan penting untuk memastikan perlindungan hukum perempuan. Oleh karena itu, Andy mengatakan pihaknya turut menyosialisasikan aturan ini dan menjadikan rujukan penyikapan kasus kekerasan perempuan saat proses persidangan.

Masukan lainnya ke MA, adalah soal perbaikan mekanisme persidangan judicial review (Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang) di Mahkamah Agung agar menjadi lebih transparan, partisipatif dan akuntabel.

Kejelasan waktu persidangan dan akses penyampaian pendapat dan pandangan jadi aspek penting perbaikan ini.Pertimbangan dari berbagai pihak akan mendukung hakim melakukan penggalian informasi secara mendalam terhadap isu yang diujikan. 

“Masukan terkait perbaikan ini telah disampaikan Komnas Perempuan sejak tahun 2010, dan juga di dalam pandangan Komnas Perempuan pada proses pengujian Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi,” kata Andy.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Ada Kekerasan yang Melibatkan TNI-Polri

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya