TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Catatan Kejanggalan KontraS dalam Proses Peradilan Kasus Paniai

KontraS lakukan pemantuaan dari sebelum hingga selama sidang

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty Stephanie (kiri) dan Wakil Koordinator, Rivanlee Anandar (kanan) dalam diskusi dengan media di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/11/2022) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Jakarta, IDN Times - Koalisi masyarakat sipil pemantau kasus Paniai 2014 yang terdiri dari gabungan organisasi HAM di Papua, Indonesia, dan internasional, melakukan pemantauan terhadap proses penyelesaian kasus Paniai 2014 yang kini tengah berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) salah satu organisasi di dalamnya, menilai, pemantauan ini perlu dilakukan karena masih ada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang masih terkatung-katung nasibnya.

"Paniai ini salah satu hal yang maju dalam urusan persidangan, tetapi di persidangan kami juga menemukan sejumlah kejanggalan atau beberapa permasalahan," kata Wakil Koordinator, Rivanlee Anandar, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/11/2022).

"Kami khawatir kalau ke depan Paniai ini jadi tolak ukur penyelenggaraan pengadilan HAM ad hoc berikutnya pada kasus-kasus yang lain. Itu kenapa kami konsen dari sebelum seleksi hakim, sampai sebelum sidang, masa sidang, dan menjelang putusan, serta mencari berbagai macam angle untuk menemukan formula terbaiknya pengadilan HAM supaya bisa menutupi tiga pengadilan di awal terus sampai hari ini dan nanti ke depannya akan jauh lebih baik," lanjut Rivanlee.

Baca Juga: Sidang Lanjutan Kasus Pelanggaran HAM Paniai di PN Makassar Ditunda

Baca Juga: Sidang HAM Paniai: Hakim Heran Kesaksian Eks Danton Brimob

1. Pengadilan HAM Paniai dan segala problemnya

Ilustrasi sidang daring. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Sejak awal, proses menuju pengadilan HAM Paniai menuai kritik di kalangan publik karena ada banyak kejanggalan di dalamnya. Salah satunya, penetapan tersangka yang hanya satu orang saja, yakni Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu.

Kemudian, pengadilan HAM yang dilangsungkan di PN Makassar, bukan di PN Papua dan tidak dilibatkannya keluarga korban Tragedi Paniai. Akibatnya, keluarga korban bersikap untuk menolak proses hukum sebab tidak sesuainya langkah-langkah yang diambil oleh Kejaksaan Agung dan aparat penegak hukum lain untuk mengusut tuntas kasus ini.

Baca Juga: Sidang HAM Berat Paniai, Kenapa Eks Kapolda Papua Belum Diperiksa?

2. Sorotan pengadilan HAM Paniai yang dilakukan di Makassar

Eks Wakapolres Paniai Papua, Kompol (purn) Hanafi menyebitkan anak-anak di Paniai di 2014 jadi korban penganiayaan saat sidang di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (6/10/2022). (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

KontraS melakukan pemantauan yang dibagi ke dalam beberapa proses peradilan Paniai 2014 ini.

Mulai dari sebelum sidang, yakni ketika pemerintah tidak membentuk pengadilan HAM di Papua tempat perkara terjadi. Pemerintah malah menggelar pengadilan tersebut di Makassar.

Kemudian, minimnya keter;ibatan korban dan saksi sipil sejak penyidikan berlangsung hingga adanya dugaan intimidasi aparat kemanan pada mahasiswa Paniai di Makassar sebelum sidang berlangsung.

Baca Juga: Saksi Ahli Dicecar soal Barang Bukti di Sidang HAM Paniai

3. Perbedaan kronologis antara dakwaan JPU dan penyelidikan Komnas HAM

Suasana sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai Papua 2014 di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (6/10/2022). (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

Sementara dalam masa sidang, KontraS juga melihat ada isu keamanan, yakni pengamanan bagi hakim dan saksi dinilai tidak siap. Kemudian adanya perbedaan kronologis dan tindakan antara dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Hal lain yang menjadi perhatian KontraS adalah kelemahan dakwaan dan pembuktian JPU. Dakwaan JPU hanya menggambarkan tipe kasus represi aparat terhadap protes masyarakat dan penggunaan kekuatan berlebihan dari aparat.

Perbedaan narasi dakwaan dan pembuktian JPU bila dibandingkan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM, menggambarkan bahwa peristiwa Paniai 2014 terjadi karena masyarakat yang melakukan protes bersikap anarkis.

Hal itu membuat aparat TNI dan Polri di lokasi saat itu hanya bereaksi merespons tindakan anarkis massa, namun sama sekali tidak ada kaitannya dengan operasi yang dilakukan oleh Polri atau TNI.

Baca Juga: Komnas HAM: Sidang Kasus Paniai Papua Berjalan Kurang Greget 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya