TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hari Down Syndrome Sedunia: Soroti Kekerasan atas Perempuan Difabel

Banyak perempuan dengan disabilitas alami kekerasan

Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Jakarta, IDN Times - Setiap 21 Maret, komunitas internasional memperingati Hari Down Syndrome sedunia. Kali ini pada 2024, sebagai peringatan ke 13, tema yang diangkat adalah #EndTheStereotypes.

Komnas Perempuan mengungkapkan, selama ini keberadaan orang dengan down syndrome masih mengalami diskriminasi di berbagai bidang, sebagaimana penyandang disabilitas lainnya. Down syndrome selama ini digolongkan sebagai orang dengan disabilitas mental dan intelektual.

“Stigma negatif, keterbatasan akses pendidikan, keterbatasan akses pekerjaan dan mengalami eksklusi sosial dalam pergaulan sosial merupakan persoalan yang masih dihadapi oleh orang dengan down syndrome,” kata komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, dalam keterangan pers, dilansir Selasa (22/3/2022).

1. Kelompok perempuan disabilitas mental tertinggi alami kekerasan

Infografis seputar difabel intelektual (IDN Times/Aditya Pratama)

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sepanjang 2020-2022 menunjukkan bahwa kelompok perempuan disabilitas yang paling tinggi mengalami kekerasan adalah perempuan dengan disabilitas mental atau intelektual, di dalamnya termasuk perempuan dengan down syndrome.

“Data Catahu 2022 menunjukkan, tahun 2021 sebanyak 42 kasus perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan dan angka kekerasan tertinggi dialami oleh perempuan dengan disabilitas intelektual sebanyak 22 kasus, dan diikuti perempuan dengan disabilitas ganda sebanyak 13 kasus,” ujar Bahrul Fuad.

Baca Juga: Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan Difabel

2. Faktor perempuan down syndrome alami kekerasan

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Bahrul Fuad menjelaskan, kerentanan perempuan dengan down syndrome pada kekerasan disebabkan beberapa faktor, mulai dari kuatnya stigma negatif terhadap perempuan dengan down syndrome di masyarakat, serta rendahnya akses pengetahuan perempuan dengan down syndrome terhadap informasi pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Selanjutnya adalah sistem layanan hukum yang belum ramah terhadap perempuan down syndrome korban kekerasan, serta masih tingginya eksklusi sosial terhadap orang dengan down syndrome.

“Sebagaimana orang dengan disabilitas lainnya, orang dengan down syndrome juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan Negara dari segala bentuk kekerasan. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 128 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin Penyandang Disabilitas bebas dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual,” katanya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya