Hari Kerja Layak, Buruh Perempuan Desak Sistem Kerja Kontrak Dihapus
Disebut hambat buruh perempuan mencapai hidup layak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Setiap tanggal 7 Oktober diperingati sebagai Hari Kerja Layak Sedunia atau World Day for Decent Work. Namun banyak hal dan ketidakadilan yang dirasakan buruh perempuan.
Perempuan Mahardhika Sukabumi mengatakan, sistem kerja kontrak yang sangat fleksibel saat ini dinilai bertentangan dengan prinsip kerja layak. Selain itu, menurut mereka, hal ini paling banyak dipraktikan pada industri yang mayoritas pekerjanya perempuan atau pada posisi-posisi yang biasanya ditempati oleh perempuan.
"Seperti pada industri padat karya yang saat ini menjadi industri besar di Sukabumi, kontrak berlaku paling panjang 1 tahun sampai hanya 2 minggu. Hal ini berdampak hilangnya hak-hak buruh perempuan seperti cuti menstruasi dan melahirkan," kata Koordinator Perempuan Mahardhika Sukabumi, Lilis Suryati, dalam agenda Memperingati Hari Kerja Layak "Sistem Kerja Kontrak Menghambat Perempuan Mencapai Hidup Layak", Sabtu (7/10/2023).
Baca Juga: Buruh Perempuan Minta Cabut Permenaker soal Waktu Kerja dan Pengupahan
1. Upah rendah bagi buruh perempuan
Selain itu, buruh perempuan juga menyoroti bagaimana pemenuhan target produksi semakin meningkat padahal potensi putus kontrak juga mengintai. Buruh perempuan juga dihadapkan pada kondisi pemberian upah minimum saat ini. Perempuan Mahardika Sukabumi mengungkap, ada model pencurian upah lainnya yang menjadi budaya di pabrik padat karya, terutama garmen.
"Lembur tidak dibayar dimana target produksi yang sangat tinggi harus tercapai setiap harinya, dan memaksa buruh bertanggung jawab yang artinya tidak ada upah tambahan meski bekerja di luar jam kerja yang seharusnya agar target tercapai," ujar Lilis.
Baca Juga: MK Tolak Gugatan UU Ciptaker, Buruh Bersiap Mogok Kerja Nasional