TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

ICU RS COVID-19 Penuh, Sosiolog NTU: Sama Seperti Italia Maret Lalu

Pakar sudah jauh hari memberi warning hal ini akan terjadi

ilustrasi tenaga kesehatan dan keluarga pasien (ANTARA FOTO/Fauzan)

Jakarta, IDN Times - Lonjakan kapasitas ICU rumah sakit rujukan terjadi seiring dengan meningkatnya kasus COVID-19. Hal ini diungkapkan oleh Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, bahwa peningkatan kapasitas ICU terjadi terutama selama Agustus dan September.

Profesor Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir mengatakan bahwa hal tersebut sudah bisa ditebak sejak lama.

"Sudah ketebak lah, tiga bulan lalu kan kita sudah berikan warning, ujung-ujungnya pasti seperti ini. Ketika jumlah kasus bertambah, pada saat bersamaan pembatasan sosialnya semakin dilonggarkan, orang-orang disuruh keluar, sementara kapasitas rumah sakitkan juga ada batasnya," kata dia kepada IDN Times, Minggu (6/9/2020).

Baca Juga: Lima Hari Berturut-turut Kasus COVID-19 di RI Selalu di Atas 3 Ribu!

1. Konsekuensi terberat Indonesia saat kasus aktif COVID-19 semakin tinggi

Peningkatan kasus COVID-19 dan penuhnya ruang ICU di sejumlah rumah sakit saat ini, menurut dia, berasal dari jumlah kasus aktif. Hal ini juga sempat terjadi di Milan, Italia pada Maret dan April 2020. Fenomena ini juga dipengaruhi faktor demografi, di mana banyak warga Italia yang berusia tua dan rentan akan COVID-19.

Sulfikar mengatakan, saat kondisi tersebut terjadi, Italia langsung belajar dan menutup kota sehingga penyebaran virus bisa dikurangi.

Indonesia, menurut dia setidaknya harus bisa mengantisipasi setiap kemungkinan yang ada, selain menghindari melonjaknya kapasitas ICU rumah sakit rujukan, pemerintah juga harus bisa mengantisipasi lonjakan pasien di rumah sakit non COVID-19.

"Konsekuensi yang paling berat adalah pada tenaga kesehatan, karena mereka itu risiko terpapar itu bisa 5 kali lipat daripada orang biasa, karena mereka bekerja di lingkungan virus bertebaran kan," ujar dia.

2. Pemerintah perlu prioritaskan penanganan kesehatan dibanding ekonomi

Dokter meninggal karena COVID-19 ( ANTARA FOTO/Ampelsa)

Dia juga berpendapat, bahwa penanganan kasus COVID-19 tidak bisa dilakukan dengan cara beriringan antara kesehatan dan ekonomi, seperti yang saat ini sedang digalakkan pemerintah.

Bagi dia, harus ada satu prioritas yang ditentukan, yakni mengutamakan kesehatan. Nantinya, hal lain bisa mengikuti di belakang.

"Gak bisa kita nyetir dua kendaraan (ekonomi dan kesehatan) pada saat yang bersamaan, harus ada yang di depan, jadi kita gak punya pilihan selain meletakkan prioritas kesehatan itu paling depan, yang lain itu bakal nyusul," ujarnya.

3. Indonesia hampir mencapai 200 ribu kasus di pekan pertama September

Ilustrasi Penambahan Kasus COVID-19 di Indonesia (Twitter.com/sociotalker)

Pada awal Agustus 2020, Sulfikar juga sempat melakukan perhitungan sederhana yang menunjukkan peningkatan kasus COVID-19. Kala itu dia menyebutkan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia akan mengalami peningkatan hingga 200 ribu dalam waktu 60 hari atau akhir September. Namun pada hari ini, Minggu (6/9/2020) telah ada 194.109 kasus di Indonesia.

"Jadi meleset dua minggu (prediksi), kalau saya lihat dari kabar mengenai orang yang mencari, yang membutuhkan fasilitas rumah sakit kemudian ditolak, kemudian beberapa rumah sakit sudah mulai menutup bahkan ada pasien yang bikin antrean," kata dia.

Baca Juga: Wajib Waspada! Ada Tambahan 3.444 Kasus COVID-19 di Indonesia Hari Ini

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya