TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Rebecca Klopper, Pemerhati Anak Soroti Kekerasan dalam Pacaran

Remaja putri diminta pahami kekerasan dalam pacaran

Ilustrasi Pasangan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Pemerhati Anak dan Pendidikan serta mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Lisyarti mengungkapkan kasus penyebaran video syur mirip artis Rebbeca Klopper (RK) jadi momentum bagi remaja putri untuk paham soal kekerasan dalam pacaran.

“Kasus RK seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak, terutama para remaja putri untuk memahami kekerasan yang kerap terjadi dalam pacaran, namun tidak disadari karena pelaku selalu mengatasnamakan cinta dan menyalahkan korban sebagai alibi mengapa dia melakukan tindak kekerasan terhadap korban,” ujar Retno dalam keterangannya, dilansir Senin (29/5/2023).

Baca Juga: Kronologi Rebecca Klopper Laporkan Penyebar Video Syur Mirip Dirinya

1. Muncul hujatan dengan menyalahkan korban perempuan

Ilustrasi kekerasan pada perempuan. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Retno mengatakan kasus seperti yang dialami RK selalu memunculkan hujatan dengan menyalahkan korban perempuan, dianggap bukan perempuan baik-baik, tidak bisa menjaga diri, suka sama suka dan seterusnya.

“Sampai substansi tindak pidana bahwa si penyebar konten pornografi yang diduga mantan pacar RK dan sudah kerap mengancam RK terlupakan oleh publik. RK sudah jadi korban masih dikorbankan juga,” kata Retno.

2. Kekerasan dalam pacaran meliputi kekerasan fisik hingga ekonomi

Ilustrasi pasangan (IDN Times/Sunariyah)

Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas. Retno menjelaskan kekerasan ini sering terjadi namun kurang mendapat sorotan sehingga korban maupun pelakuya tidak menyadarinya.

Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.

“Pemahaman yang terbatas mengenai diri dan relasi mengakibatkan banyak perempuan menganggap pembatasan aktivitas merupakan hal yang wajar, bahkan bentuk kepedulian dan perasaan sayang dari pasangan,” ungkap Retno.

Baca Juga: Kemen PPPA Kecam Kasus Kekerasan Seksual Santri di Lombok Timur 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya