TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KDRT Bisa Terjadi karena Berbagai Faktor, Bukan Cuma Ekonomi

Faktor sosial, budaya, agama, hingga politik bisa picu KDRT

Ilustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkapkan, banyak perempuan menjadi korban kekerasan. Salah satu bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

KDRT seringkali terjadi tidak hanya karena faktor ekonomi semata. Faktor sosial, budaya, agama, politik, dan sebagainya juga kerap memicu KDRT dan berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bisa berdampak secara signifikan pada kondisi kesehatan baik fisik dan psikis, serta kesejahteraan korban. 

“KDRT pun tidak hanya berdampak terhadap istri semata, tetapi juga pada anak. Banyak anak-anak yang menjadi saksi mata kasus KDRT di dalam rumahnya sendiri memiliki kecenderungan tumbuh dengan kesulitan belajar dan keterampilan sosial yang terbatas. Hal tersebut menggambarkan bahwa dampak dari KDRT begitu kompleks dan berjangka panjang,” kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga Rentan, Eni Widiyanti, dalam keterangannya dilansir, Jumat (15/9/2023).

Baca Juga: Suami Bunuh Istri di Bekasi Terancam Penjara Seumur Hidup

1. Pelaku KDRT sebagian besar adalah suami

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti (Dok. KemenPPPA)

Hal ini disampaikan Eni saat dialog Lembaga Penyedia Layanan: Membangun Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). 

Mengutip data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 2022 ada 73,1 persen kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP). Kasus paling banyak terjadi di rumah tangga atau KDRT sebanyak 73,1 persen. Dari angka ada 8.432 kasus yang terlaporkan.

Simfoni PPA juga mencatat, sebagian besar atau 56,3 persen pelaku KDRT adalah suami. Adapun faktor pemicu yang paling banyak menyebabkan terjadinya KtP adalah faktor ekonomi, yakni sebesar 30,7 persen.

2. Kasus KDRT kerap dianggap sebagai urusan pribadi

ilustrasi penganiayaan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Pelaksana Teknis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPPA) DKI Jakarta, Tri Palupi Diah Handayani mengatakan, ada kendala yang dihadapi dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Hal ini terjadi karena kompleksitas kasus KDRT yang kerap dianggap sebagai urusan pribadi. Belum lagi korban enggan melapor dan merasa tindak kekerasan yang dialami adalah aib dan tak perlu diketahui orang lain. Kondisi tersebut membuat korban kerap sulit keluar dan mengambil keputusan yang malah bisa membahayakan korban.

“Kendala lainnya ada pada perbedaan perspektif stakeholder dalam penanganan korban KDRT, perspektif masyarakat, stakeholder dan mitra pembantu yang belum sepenuhnya paham mengenai batasan dan proses layanan, skema perlindungan khusus untuk korban KDRT yang belum dimaksimalkan, serta aspek pemberdayaan yang belum sepenuhnya tereksplorasi,” kata Palupi.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya