TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kronologi Pemerintah Hong Kong Deportasi Paksa ART Indonesia

ART Indonesia dideportasi paksa dan diancam akan ditahan

Yuli Riswati jurnalis lepas Indonesia di Hong Kong yang dideportasi (IDN Times-Fitria Madia)

Jakarta, IDN Times - Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menjelaskan kisah yang menimpa Asisten Rumah Tangga (ART) Yuli Riswati yang juga merupakan jurnalis lepas di Migran Pos. Dia ditahan dan dideportasi paksa oleh Imigrasi Hong Kong.

Dalam keterangan pers JBMI yang diterima IDN Times, Rabu (4/12), disebutkan bahwa Yuli ditangkap dan disidangkan pada 23 September atas tuduhan tidak memperpanjang visa kerjanya (overstay). Dia lupa memperpanjang visa kerja dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi pemerintah Hong Kong pada ART migran.

JBMI melancarkan kampanye untuk melawan praktik perbudakan modern yang diberlakukan Pemerintah Hong Kong melalui aturannya.

1. Yuli dideportasi paksa oleh pihak imigrasi Hong Kong

Yuli Riswati saat melakukan konferensi pers di kantor AJI Surabaya, Selasa (3/12). IDN Times Fitria Madia

Yuli sempat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sha Tin, Hong Kong pada 4 November dan dibebaskan dari tuduhan pelanggaran karena bukti yang ada tidak memadai.

"Akan tetapi setelah Yuli dibebaskan, pihak imigrasi secara sepihak dan tidak adil menahan dan mendeportasi Yuli," kata Sring Atin dari JBMI melalui keterangan pers yang diterima Rabu (4/12).

Pihak imigrasi menganggap Yuli tidak memiliki visa kerja dan tempat tinggal, maka dari itu ia tidak berhak tinggal di Hong Kong.

Baca Juga: Hong Kong: Yuli Riswati Dideportasi karena Langgar Izin Tinggal

2. Diminta tanda tangan surat pemulangan dan diancam akan ditahan

Yuli Riswati jurnalis lepas Indonesia di Hong Kong yang dideportasi (IDN Times-Fitria Madia)

Majikan Yuli sebenarnya telah menawarkan tempat tinggal dan perpanjangan visa kerjanya. Namun ia dipaksa menandatangani surat dan diancam oleh pihak imigrasi.

"Yuli dipaksa menandatangani surat perintah pemulangan (removal order) dan jika menolak maka dia akan ditahan hingga waktu yang tidak terbatas," kata JBMI.

Akhirnya Yuli terpaksa menandatangani surat tersebut karena buruknya kondisi pusat penahanan dan kesehatan di Hong Kong. Yuli pulang ke Indonesia pada Senin (2/12).

3. Peraturan diskriminatif pemerintah Hong Kong

Pendukung pro Tiongkok mengibarkan bendera di sebuah pusat perbelanjaan di Harbour City, Hong Kong, pada ANTARA FOTO/REUTERS/Jorge Silva

Selain Yuli ternyata banyak ART yang mengalami hal serupa, hal ini merupakan imbas pemerintah Hong Kong yang dengan sengaja mengikat ART migran dengan peraturan diskriminatif.

Peraturan tersebut berupa pembatasan visa dan mandatory exit tiap tahun, larangan melakukan kegiatan di luar pekerjaan rumah tangga di rumah majikan, dan larangan berganti jenis profesi dan menjadi penduduk tetap.

4. Dijadikan cara agar perempuan lokal Hong Kong dapat bekerja bebas

Ilustrasi bekerja (ANTARA FOTO/Siswowidodo)

Hal tersebut merupakan cara Pemerintah Hong Kong untuk memajukan skema pembangunan ekonomi liberal.

"Pemerintah Hong Kong berkepentingan menjadikan ART Migran sebagai budak di dalam rumah, sehingga para perempuan lokal bisa bebas bekerja," ujarnya.

Hak ART juga dibatasi agar majikan tidak menuntut lebih pada pemerintah dan perusahaan tempat ART bekerja.

Baca Juga: Jurnalis Veby Indah Menolak Tinggalkan Hong Kong Demi Mencari Keadilan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya