Pasal Zina dan Kumpul Kebo di RKUHP Berpotensi Langgengkan Persekusi
Tidak semua hal yang tak pantas diperlakukan dengan pidana
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan, pasal perzinahan dan kohabitasi atau kumpul kebo dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi melanggengkan persekusi.
Menurut dia, masyarakat Indonesia hidup dalam berbagai macam norma, tak hanya hukum tetapi juga norma kesusilaan, agama, kesopanan, dan lainnya.
"Norma hukum apalagi hukum pidana karena ancaman badan bisa dipenjara, bisa denda, itu seharusnya diberlakukan, istilahnya ultimum remedium. Jadi cara mengatasi yang paling maksimal kalau semua sudah gak bisa lagi, baru kita kasih sanksi pidana," kata Bivitri saat berbincang dalam diskusi daring "Ngobrol Seru: Kupas Tuntas RKUHP" by IDN Times, Selasa (12/7/2022).
Baca Juga: Pengesahan RKUHP Molor Lagi, Bivitri: Banyak Wacana Simbolisasi
Baca Juga: Ada Pasal Santet di RKUHP, Pakar Hukum: Unfaedah
1. Cara kerja hukum pidana bukan agar orang tak lakukan sesuatu
Bivitri mengatakan, sanksi pidana dijadikan cara yang paling maksimal jika hukuman lainnya tak bisa dilakukan. Dalam konteks perzinahan, kata dia, bukan berarti semua perilaku yang tak disukai dibuatkan pasal pidananya.
"Biar orang tidak melakukan itu, bukan begitu cara merumuskan hukum pidana," ujarnya.
Menurut dia, perlu dilihat apakah perilaku yang terjadi menggangu ketertiban umum atau tidak. Apalagi di dalam hukum terdapat hukum privat dan publik, sedangkan hukum terkait kumpul kebo tersebut ada di dalam hukum privat.
Baca Juga: Deretan Pasal Bermasalah di Draf Final RKUHP, Ada soal Live Streaming
Baca Juga: Pakar Hukum: RKUHP Tidak Mendesak Jika masih Bawa Unsur Kolonialisme