TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perludem: Politik Asal Comot Jadi Tantangan bagi Caleg Perempuan

Mereka dipilih untuk kebutuhan formal saja

Warga menunjukkan model surat suara pemilihan presiden saat simulasi pencoblosan pemilu di TPS 31 Penancangan Kota Serang, Banten, Selasa (30/1/2024). (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengungkap tantangan yang masih dihadapi perempuan dalam dunia politik Indonesia. Salah satunya adalah pola politik asal comot yang masih terjadi.

“Jadi perempuan masih didekati sebagai persyaratan untuk memenuhi kebutuhan pencalonan formal. Jadi politik asal comot itu masih ditemukan dan masih terjadi. Dan yang penting adalah bagaimana memenuhi kebutuhan perempuan di daftar caleg,” kata dia dalam webinar bertajuk Mewaspadai Potensi Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu 2024, Senin (5/2/2024).

1. Ada beberapa perempuan yang serius melaju meski asal dicomot

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini usai Media Talk di kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dia mengatakan proses rekrutmen perempuan kerap terjadi menjelang pemilu, bukan sebagai upaya berkelanjutan. Namun, dia tak menampik ada beberapa perempuan memasuki dunia politik dengan serius, meski mendadak ditarik imbas pola politik asal comot. 

“Dia belajar, dia menganggap itu sebagai penghargaan. Akhirnya dia mengalami akselerasi politik,” katanya.

Tetapi, tak sedikit pula perempuan yang dianggap sebagai pelengkap memenuhi kebutuhan kuota caleg.

Baca Juga: Andika Kangen Band Menikah Lagi, Kenal Saat Kampanye Caleg

2. Objektifikasi mewarnai kehadiran perempuan

Ilustrasi TPS. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Titi juga menyoroti relasi antara caleg perempuan dan pemilih yang masih didasarkan pada pendekatan objektifikasi.

Kerap kali penampilan fisik perempuan menjadi fokus, dan media sosial sering menjadi sarana kekerasan verbal dengan kata-kata objektif seperti cantik atau semok. 

“Jadi objektifikasi itu masih mewarnai kehadiran perempuan politik,” kata dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya