TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kapolri Tito Karnavian Ungkap Kenapa Bom Surabaya Bisa Terjadi

Aksi teros ini melibatkan satu keluarga

IDN Times/Vanny El Rahman

Jakarta, IDN Times - Aksi bom bunuh diri di Surabaya yang terjadi pada 13 Mei merupakan satu dari serangkaian aksi terorisme yang bertujuan menciptakan teror dan ketakutan di tengah masyarakat Indonesia. Namun, fakta yang memprihatinkan adalah para pelaku ternyata merupakan satu keluarga dan turut melibatkan anak.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Muhammad Tito Karnavian menceritakan bagaimana keluarga tersebut sebenarnya sudah dicurigai sejak lama oleh pihak Kepolisian.

Baca Juga: Cerita Warga Saudi Bebaskan TKI dari Ancaman Hukuman Mati

1. Polisi sudah mengawasi selama empat bulan

IDN Times/Vanny El Rahman

Kepolisian mengerahkan tim untuk mengawasi keluarga yang terdiri dari pasangan suami-istri, beserta empat orang anaknya karena diduga memiliki hubungan dengan sel Jemaah Ansharut Daulah (JAD).

"Tapi kami tidak melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, tidak tampak mereka merencanakan suatu penyerangan atau semacamnya. Kenapa kami tidak bisa mendeteksi? Karena mereka tidak menggunakan media sosial. Terkadang itu yang tak bisa kami lacak," ujar Tito kepada Channel NewsAsia pada 5 Juli 2018.

Terlebih lagi, Tito mengatakan, untuk mengawasi sebuah sel atau jaringan membutuhkan banyak tenaga. Untuk mengawasi satu orang saja perlu mengerahkan sekitar 20 sampai 30 petugas. Sehingga, dalam beroperasi, polisi harus membuat prioritas-prioritas yang perlu didahulukan.

2. Pelaku juga adalah korban

Teroris Riau

"Menurut pandangan pribadi saya, kejadian di Surabaya yang melibatkan satu keluarga, suami, istri, empat orang anak dan mereka melakukan bunuh diri, sejujurnya itu sangat mengejutkan. Tapi mereka bukan semata-mata pelaku, melainkan juga korban. Korban dari ideologi radikal," lanjut Tito.

Ia melihat ada dua permasalahan yang sebenarnya perlu segera dituntaskan. Pertama adalah melawan pengaruh radikalisme dengan menggandeng tokoh agama atau akademisi berpengalaman dari dalam atau pun dari luar lingkungan untuk membuka diskusi.

Kedua, adalah menggunakan ideologi Pancasila untuk melawan ideologi radikal. "Pancasila adalah ideologi alternatif karena ideologi ini mengajarkan persatuan, kemanusiaan, kepercayaan kepada Tuhan, demokrasi, keadilan sosial, dan juga menghargai perbedaan," kata Tito.

Baca Juga: 15 Tahun Ditahan di Yordania, TKI Asal Lampung Akhirnya Diselamatkan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya