TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KPAI : Anak Itu Korban, Bukan Pelaku Teror

Selamatkan masa depan mereka

IDN Times/Margith Juita Damanik

Jakarta, IDN Times - Bom bunuh diri di Surabaya menewasan 3 keluarga yang menjadi terduga pelaku teror bom. Dalam 3 keluarga yang tewas tersebut, setidaknya 7 orang di antaranya adalah anak-anak.

Hal ini lantas ditanggapi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). "Terkait kasus Surabaya, aktor dan inisiator utama harus sesegera mungkin ditangkap," tutur Susanto selaku ketua KPAI.

"Kami menduga pelaku dan kelompok pelaku hanya eksekutor. Ada inisiator dan decision maker yang belum terungkap," kata Susanto lagi. Pihak KPAI meminta masyarakat menghormati proses hukum yang berjalan. KPAI juga meminta pihak Kepolisian terus mencari inisiator teror bom tersebut.

Baca juga: Pakai Seragam Depag, Warganet Ini Sebut Korban Teror dengan "Ekor"

1. Bukan pelaku, anak justru korban

IDN Times/Margith Juita Damanik

Banyak pihak menyebutkan anak-anak yang turut dalam aksi teror bom di Surabaya dikategorikan sebagai pelaku, sama seperti orang tua mereka. "Anak 'pelaku' adalah anak korban," tutur Rita Pranawati selaku wakil ketua KPAI.

"Karena tidak mungkin dia punya pemikiran untuk memasang itu sendiri di badannya. Pasti ada rasa takut dan tidak nyaman," tutur Rita lagi.

Namun menurut KPAI rasa percaya anak kepada orang terdekat terutama orang tua menjadi hal yang menyebabkan keterlibatan anak dalam aksi bom bunuh diri. Orang tua punya kuasa lebih terhadap anaknya.

KPAI menilai anak-anak yang terlibat tidak dapat dikatakan sebagai aktor yang murni melakukan kejahatan. Dorongan dan pengondisian si anak dengan paparan radikalisme dari orang tua menyebabkan mereka nekad ikut serta dalam aksi terorisme. "Meski akan berproses hukum tetap mereka korban," tutur Rita lagi.

2. Lindungi masa depan korban, jangan sebar foto dan identitasnya

IDN Times/Margith Juita Damanik

Menurut KPAI hal yang selanjutnya akan menjadi tantangan bagi anak-anak korban aksi teror bom di Surabaya adalah melawan stigma masyarakat. Stigma masyarakat bahwa si anak adalah mantan teroris atau anak teroris adalah hal berat yang sulit dihilangkan.

Stigma tersebut jika dipelihara, menurut Rita, dapat menimbulkan benih-benih kebencian bahkan mendorong si anak kelak melakukan tindak terorisme seperti yang orang tuanya pernah lakukan.

"Untuk itu kami mengimbau masyarakat dan teman-teman media untuk tidak turut menyebarkan foto atau video wajah maupun identitas mereka," tutur Rita. "Masa depan mereka kan masih panjang," katanya lagi.

3. Korban teror bom di Surabaya dalam pendampingan

KPAI menilai bahwa latar belakang keluarga dan pengasuhan yang dialami oleh anak korban yang turut dalam aksi teror bom di Surabaya nihil terhadap info radikalisme. "PR bagi KPAI bekerja sama dengan Polda Jatim dan lembaga terkait. Karena ada 3 anak di sana yang pendampingannya berada di rumah aman yang ditunjuk Polda Jatim," tutur Putu Elvina selaku Anggota KPAI.

"Dari awal kita berkordinasi dengan PPA Jatim. Sudah dapat pendampingan dari awal. Sejak kejadian bom tersebut," tutur Putu lagi. Penanganan trauma kepada anak-anak korban aksi teror bom di Surabaya menurut KPAI akan menjadi hal sulit dan membutuhkan waktu yang lama. KPAI menyatakan tidak sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mensterilkan anak dari paham radikalisme.

4. Anak butuh edukasi dan rehabilitasi

IDN Times/Margith Juita Damanik

KPAI menegaskan meski proses hukum akan terus berjalan namun penanganannya akan berbeda dibanding dengan kasus terorisme dengan orang dewasa. Anak-anak tentu akan mendapat perlakuan berdasarkan pada UU Perlindungan Anak.

"Sore ini kita mau berangkat ke Jatim untuk pastikan kondisi korban seperti apa dan proses yang ada di sana," tutur Susanto. Selain itu pihak KPAI juga akan mendalami lebih jauh kasus yang terjadi.

Menurut KPAI pendampingan dan rehabilitasi menjadi hal yang diperlukan oleh anak-anak korban aksi bom di Surabaya. KPAI juga menyarankan Kepolisian untuk tidak mengambil BAP secara detail. Hal ini karena mempertimbangkan sisi traumatis anak yang masih ada. BAP akan diambil sesuai dengan kesiapan anak. Tidak bisa dengan cara yang sama seperti kepada orang dewasa.

Baca juga: 20 Potret Pilu Saat Keluarga Mencari Korban Bom di Surabaya-Sidoarjo

 

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya