TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perbatasan Entikong, Cerita Usang yang Tak Kunjung Usai

Tentang nasib pekerja migran dan warga perbatasan

Ilustrasi Polisi (IDN Times/ Lia Hutasoit)

Jakarta, IDN Times – Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kecamatan Entikong menjadi wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Tempat ini juga memiliki jalur perbatasan darat langsung antara Indonesia dan Sarawak, Malaysia.

Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong merupakan satu dari tiga pintu masuk resmi yang menjadi pembatas Indonesia dan Malaysia. Jaraknya lebih kurang tiga jam dari Bandar Udara Supaido, Pontianak, Kalimantan Barat.

Tak sedikit warga Indonesia yang bukan dari Entikong melewati daerah ini untuk mencoba peruntungan di Negeri Jiran.

Membahas Warga Negara Indonesia yang menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri, persoalan legal dan ilegal menjadi tak terhindarkan. Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) Entikong mencatat ada 3.192 PMI yang bekerja di Malaysia.

Menurut pihak imigrasi dan P4TKI di PLBN Entikong kepada IDN Times yang menelusuri pekerja migran yang melintas perbatasan ini, pertengahan Februari lalu, dokumen yang menjadi persyaratan untuk PMI dapat bekerja secara legal di luar negeri sebenarnya sederhana, sehingga tidak seharusnya pencari kerja masuk negara tetangga secara ilegal.

1. Catatan TPI Entikong di lalu lintas perbatasan

IDN Times/Fadila Suryandika

Supervisor Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Entikong, Ricky Himerly menyebutkan dalam kondisi normal, lalu lintas di TPI Entikong bisa mencapai lebih dari 700 orang per hari.

Angka ini merupakan penggabungan antara WNI dan WNA. "Tapi saya bisa sebutkan WNA yang melintas di sini sekitar 10-15 persen dari 700 orang itu,” kata Ricky kepada IDN Times saat ditemui di PLBN Entikong, Kalimantan Barat.

Namun menjelang hari raya biasanya terjadi lonjakan orang yang melintas. Jumlahnya biasanya bertambah sekitar 40 persen. PLBN Entikong sendiri beroperasi sejak pukul 5 pagi hingga pukul 5 petang. “Ramainya itu di jam 5 subuh, dan jam makan siang,” kata Ricky.

Alasan orang melintasi perbatasan, menurut Ricky, beragam. Mulai dari berwisata, mengunjungi keluarga, berobat, hingga bekerja. Proses melintasi perbatasan diperketat untuk mereka yang pergi dengan alasan bekerja.

Kelengkapan dokumen menjadi faktor yang dapat mempermudah sekaligus menyulitkan bagi pekerja migran untuk melintasi perbatasan. “Pada dasarnya untuk melintas itu yang dibutuhkan itu cuma satu, paspor,” kata Ricky.

Data dukung lain, menurut dia, perlu dilengkapi bergantung tujuan kunjungan ke negara tetangga. Permit atau pun visa kerja menjadi dokumen yang wajib disertakan bagi pelintas yang berniat bekerja di negara tetangga. Namun dokumen ini kerap diabaikan, sehingga memicu tindakan ilegal.

Problem yang dihadapi tim imigrasi PLBN Entikong adalah banyaknya 'jalur tikus' di wilayah ini yang memungkinkan orang yang tidak memiliki dokumen resmi bebas melintas tanpa melalui PLBN.

Menurut Ricky, WNI yang bermasalah di Malaysia sebagian besar lolos melintasi perbatasan tanpa melalui PLBN karena masuk lewat jalur pegunungan atau hutan.

“Kita kan operasional dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore. Selepas dari itu kita serahkan tanggung jawab kepada PLBN dan mereka pun komit dengan tanggung jawab itu bahwa tidak akan ada yang melintas lewat PLBN ini,” kata Ricky.

Di perlintasan PLBN, kata dia, banyak CCTV untuk memantau arus lalu lintas. Yang 'lepas' dari pemantauan itu, jalur-jalur tikus. "Hutan-hutan dan bukit-bukit. Ada yang jaga tentara, tapi tentara dari sekian kilometer itu gak mungkin setiap satu meter ada tentara," lanjut dia.

Mengantisipasi semakin banyaknya orang yang pergi ke negara tetangga secara ilegal, pihak Imigrasi sudah bekerja sama dengan Bea Cukai dan aparat kepolisian untuk melakukan inspeksi ke titik-titik sekitar perbatasan. Namun, cara itu pun dirasa belum cukup efektif.

“Kalau titik, itu kami menyebutnya sayap kanan sayap kiri,” kata Ricky. Kepada IDN Times, dia mengaku pihaknya telah mengetahui wilayah mana saja yang biasa menjadi tempat orang secara diam-diam menyeberang ke Malaysia.

Namun tidak ada titik-titik pasti yang menjadi lokasi penyeberangan ilegal. Ricky menyebutkan lokasinya tersebar di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dan Malaysia, meski sudah ada pos penjagaan dan patok-patok bahkan pagar pembatas antar negara.

Menjadi pintu ke luar dan masuknya WNA dan WNI dari dan menuju Indonesia atau sebaliknya membuat PLBN Entikong tak jarang mendapat sejumlah laporan mengenai kasus-kasus yang menimpa buruh migran.

Berkaitan dengan keimigrasian, kasus maladministrasi menjadi salah satu kasus yang paling banyak dicatat TPI Entikong. “Termasuk mengelabui petugas. Semula alasannya mengunjungi keluarga tapi ternyata di sana bekerja,” kata Ricky.

Dilema juga dirasakan pihak imigrasi terkait pemberian izin dengan alasan kunjungan keluarga. Pasalnya, menurut Ricky, di kawasan perbatasan sendiri banyak WNI yang memiliki keluarga di daerah Malaysia yang jaraknya tak sampai 30 menit dari PLBN. "Di sini mereka ini harusnya satu daratan karena ada negara mereka terpisah," kata dia.

Baca Juga: Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh Migran

Khusus pekerja migran, P4TKI Entikong mencatat ada rata-rata kisaran 300-400 orang Indonesia yang melewati PLBN Entikong. Angka tertinggi tercatat di bulan April 2020 mencapai 430 orang.

Pekerjaan mereka di Malaysia dan Brunei Darussalam menurut P4TKI beragam. Mulai bekerja di pabrik kayu, perkebunan sawit, hingga pekerjaan dengan skill tertentu seperti bengkel, salon, restoran dan hotel.

"Kalau untuk penempatannya kita harus mewajibkan calon PMI itu memiliki dokumen yang lengkap agar kerja di sana lebih aman dan terjamin juga asuransi dilindungi oleh BPJS ketenagakerjaan," kata Koordinator P4TKI Entikong, Reinhard Panjaitan.

Sedangkan untuk fungsi perlindungannya, P4TKI sudah melakukan pencegahan bila ada kasus-kasus yang menimpa PMI di negara tetangga. Bagi para PMI bermasalah yang dipulangkan P4TKI akan melakukan pendataan hingga pendampingan menuju Dinas Sosial untuk kemudian dipulangkan.

Imigrasi Entikong mencatat kantong-kantong PMI yang umumnya melewati PLBN Entikong justru tidak seluruhnya merupakan warga Entikong atau Kalimantan. Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa disebut-sebut sebagai kantong-kantong besar PMI yang lewat melalui PLBN Entikong.

Pada tahun 2019, P4TKI mencatat telah menangani kasus hingga 3.192 PMI. Kasus yang ditangani beragam, mulai dari sakit, deportasi, repatriasi, hingga pemulangan jenazah PMI.

“Mayoritas (pada 2019) kasus yang dideportasi. Karena tidak memiliki paspor atau permit atau karena tindak kriminal, bahkan narkoba,” kata Reinhard.

Menurut dia, pemerintah Indonesia telah mengupayakan memfasilitasi keperluan PMI secara optimal, termasuk pemulangan mereka. Permasalahan yang menurut P4TKI kini tengah dihadapi adalah masih banyaknya PMI yang memilih bekerja tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan pemerintah atau dengan kata lain, ilegal.

2. P4TKI jalankan fungsi perlindungan dan penempatan

(Foto hanya ilustrasi) Pekerja migran di Hong Kong menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan di sebuah taman di daerah Tsing Yi, Hong Kong. (IDN Times/Faiz Nashrillah)

3. Soal PLBN Entikong dan 'jalan tikus' sepanjang perbatasan Kalbar-Malaysia

tandaseru.id

PLBN Entikong tak jarang disebut-sebut orang menjadi salah satu jalur perdagangan orang. Hal ini bukan tanpa alasan. Salah satu alasan adalah banyaknya pekerja migran ilegal yang ditangkap di Malaysia, pun Brunei Darussalam yang mengaku melintasi perbatasan melalui Entikong.

Administrator Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Viktor kepada IDN Times mengatakan, PLBN Entikong sudah ada sejak tahun 1989 dan merupakan perlintasan yang pertama kali dibuka antara Indonesia dengan Malaysia.

"Perlintasan resmi yang dibuka hasil dari pertemuan kedua negara melalui forum Sosek (sosial-Ekonomi) Malindo," kata Viktor ditemui di kantor PLBN Entikong.

PLBN ini mengalami banyak perombakan sejak berdirinya. Terakhir kali PLBN Entikong diperindah dan kembali diresmikan pada 21 Desember 2016. Banyak perubahan yang menurut Viktor terjadi setelah peresmian ulang, antara lain meningkatnya angka kunjungan dari Malaysia ke Indonesia.

Meski demikian, dia tak memungkiri tersebarnya jalan-jalan tikus di luar kawasan PLBN menjadi problema sendiri bagi PLBN Entikong. Kasus-kasus perdagangan manusia, maladministrasi, hingga narkoba biasa ditangani di dalam kawasan PLBN.

Namun, area di luar PLBN menjadi masalah yang paling dikhawatirkan. "Itu kan banyak jalur-jalur tikus. Itu memang sulit. Panjang perbatasan kita untuk yang Kalbar saja 966 km, itu pengawasannya hanya dua batalion,” kata Viktor.

Dengan dua batalion yang memiliki personel sekitar 700 orang, tentu kewalahan mengawasi wilayah sepanjang itu. "Apalagi namanya manusia, biarpun militer kan punya keterbatasan juga, gak mungkin dijaga 24 jam,” kata dia.

Hingga kini, area perbatasan Kalimantan Barat, Indonesia dengan Malaysia hanya dibatasi dengan patok-patok batas. Karena itu, menurut Viktor, perlu dibangun pagar pembatas di wilayah ini.

“Kalau hanya mengandalkan patok batas itu sulit sekali,” kata Viktor. Dia mengungkapkan, tak hanya tersebarnya jalan tikus yang menjadi kendala, namun juga banyaknya masyarakat yang sudah lama menjadi penduduk lokal di wilayah perbatasan membuat jalur ke luar masuk tanpa melalui PLBN.

“Karena selain jalan tikus juga masyarakat ini kan ada yang sudah lama tinggal di situ. Masyarakat lokal atau pun yang berkebun, berburu, dan lain sebagainya,” kata dia.

Tak jarang, PMI ilegal yang akan bekerja dari Indonesia ke Malaysia justru memanfaatkan celah tersebut. Viktor mengatakan, pihaknya telah memperketat pengawasan lintas batas di wilayah itu. Mereka juga bekerja dengan pihak-pihak lain untuk mencari solusi permasalahan lintas keluar masuk di luar area PLBN Entikong.

4. Kisah pekerja migran mengumpulkan pundi-pundi

(Foto hanya ilustrasi) Para pekerja migran Indonesia di Hong Kong saat menikmati hari liburnya. IDN Times/Faiz Nashrillah

Emi Ekowati, mantan PMI yang kini merintis usaha di Entikong, Kalimantan Barat pernah bekerja di sebuah pabrik di Malaysia sekitar 16 tahun silam. Ketika berusia 21 tahun, perempuan asal Bantul, Yogyakarta ini memilih untuk mengadu nasib di negeri orang.

"Karena tuntutan ekonomi, ingin cari pengalaman, ingin cari kerja. Intinya ingin perubahan ekonomi lah,” kata Emi ketika ditemui IDN Times di warung makan miliknya di Entikong.

Mendaftarkan diri ke sebuah agen, Emi sempat mendapat pelatihan menjahit sebelum akhirnya dikirim ke Malaysia. Menjalani kontrak kerja selama dua tahun, Emi menjadi salah satu PMI yang beruntung karena mendapatkan lingkungan pekerjaan yang baik.

Mengadu nasib di negeri Jiran, Emi berbekal dokumen resmi. Dengan kata lain, dia tercatat sebagai PMI legal. Lepas dua tahun bekerja, merasa nyaman dengan pekerjaannya, Emi sempat memperpanjang kontrak selama satu tahun sebelum akhirnya pulang ke tanah air.

Tak ada masalah berarti yang dihadapi Emi ketika bekerja di Malaysia. Pun upahnya dibayarkan sesuai dengan perjanjian kerja. Uang itu kemudian yang digunakan Emi untuk memulai hidup baru di Indonesia.

"Cuma kalau kita kerja di tempat orang, biasa memperlakukan kita macam kurang layak. Marah-marahnya kurang kayak di negara kita sendiri," kata Emi menyampaikan duka yang dialaminya saat bekerja di Malaysia.

Menariknya, perlakuan tersebut disebut Emi bukan didapatkan dari orang Malaysia, namun dari orang Indonesia yang jabatannya sudah lebih tinggi dibanding dirinya.

Memiliki impian menjadi pengusaha sejak duduk di bangku sekolah, Emi dan suaminya yang juga sempat bekerja di Malaysia kini menjalankan usaha warung makan milik keluarga mereka yang diturunkan dari keluarga suami.

Tak pernah mendapat perlakuan kasar, menurut Emi peruntungan ada di pihaknya karena dia bekerja secara legal dan sesuai dengan aturan yang berlaku. "Kita yang penting itu kerja sesuai aturan, maka ya gak akan itu (diperlakukan kasar)," kata dia.

Baca Juga: Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh Migran

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya