TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Satya Bumi: Perppu Ciptaker Rawan Kriminalisasi Masyarakat Adat

Perppu Cipta Kerja juga tak berupaya melindungi lingkungan

Polisi hutan bersama masyarakat rutin melakukan patroli di kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Kabupaten Mandailinatal. Pelibatan masyarakat dalam perlindungan hutan dinilai cukup efektif untuk mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jakarta, IDN Times - Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyoroti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang dinilai nihil upaya pemerintah dalam melindungi lingkungan dari krisis iklim.

Andi menilai Perppu Ciptaker justru memuat pasal-pasal yang berbahaya pada lingkungan alih-alih mengupayakan perbaikan dan menjaga lingkungan hidup.

“Perpu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup,” kata Andi dalam keterangan tertulis, Kamis (5/1/2023).

Baca Juga: Kemenaker Bantah Perppu Cipta Kerja Bolehkan Kontrak Seumur Hidup

1. Soroti aturan kehutanan dan masyarakat adat

Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Satya Bumi menyoroti sejumlah pasal dalam Perppu Ciptaker yang minim partisipasi publik dari masyarakat adat. Dalam Perppu Ciptaker, aturan penyusunan Amdal masih mengenyampingkan peran masyarakat adat yang bisa terdampak langsung dari pembangunan.

“Penyusunan Amdal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup, dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan Amdal,” kata dia.

Selain itu, kata Andi, Perppu Ciptaker juga mengubah Pasal 18 Undang-Undang Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.

“Sebelum direvisi dalam omnibus law, UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai, dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi Perppu Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut,” ucapnya.

Baca Juga: Pakar Hukum: Perppu Cipta Kerja Tak Penuhi Syarat, Bisa Dibatalkan MK

2. Perppu Ciptaker tak beri sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan

Ilustrasi masyarakat di kawasan hutan adat. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Andi kemudian menyoroti pasal ‘pemutihan’ atas kegiatan usaha yang terlanjur sudah berada di kawasan hutan. Perppu Ciptaker ini tak memberikan sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan.

Pemerintah justru memberikan waktu kepada pelak usaha di kawasan hutan untuk menyelesaikan administrasi dalam kurun tiga bulan.

“UU Ciptaker memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam Perppu, isinya tak jauh beda, hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023,” kata Andi.

Pasal 162 Perppu Ciptaker juga disebut berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang. Aturan ini disebut berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminaliasi masyarakat penolak kegiatan tambang.

Dalam pasal tersebut diatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).

“Jadi berdasarkan catatan di atas, pandangan kami soal subtansi tidak berubah, bahwa UU Ciptaker yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perppu ini, memang mempreteli kerangka perlindungan lingkungan dan sosial," ujar Andi.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya