TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Sisi Terang dan Gelap ChatGPT Menurut Sejumlah Pakar UI

ChatGPT harus digunakan dengan bijak

Tangkapan layar ChatGPT (dok. OpenAI)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah Guru Besar Universitas Indonesia (UI) memberikan pandangan tentang Chat Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT). ChatGPT merupakan salah satu produk Artificial Intelligence (AI) yang dibuat untuk memenuhi keingintahuan manusia mengenai segala hal.

ChatGPT mengalami perkembangan pesat, sejak generasi pertama diperkenalkan pada 2018, dan terakhir dirilis generasi keempat pada 2023 dengan kemampuan 10 kali lipat dari generasi pertama.

“Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) pada dasarnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, karena memiliki transformational power yang luar biasa, mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian, kebijakan publik, governance, dan lainnya,” ujar Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI), Profesor Harkristuti Harkrisnowo, dalam webinar bertajuk “Etika Artificial Intelligence Penggunaan ChatGPT di Lingkungan Akademik”, dilansir Antara, Sabtu (25/3/2023).

Baca Juga: ChatGPT Plus Sudah Hadir di Indonesia, Tertarik Coba?

1. Kehadiran ChatGPT seperti dua sisi mata uang

ChatGPT Plus, versi berbayar ChatGPT oleh OpenAI (IDN Times/Alfonsus Adi Putra)

Namun, seperti halnya hal-hal baru di dunia ini, selain membawa kebaruan dan keuntungan, menurut Harkristuti, ternyata AI juga membuka jendela bagi hal-hal yang berpotensi distruptif.

Dalam bidang pendidikan, kata Harkristuti, mahasiswa dan murid bisa menanyakan soal ujian dari bidang ilmu apa saja. Bahkan, kata dia, dapat dimanfaatkan untuk penyusunan karya tulis hanya dengan memasukkan kata kunci tertentu.

Kendati, menurut Harkristuti, kemampuan ChatGPT yang sangat tinggi membuka peluang terbukanya fenomena paralel atau dua sisi mata uang, yakni sisi terang teknologi berupa kemudahan yang luar biasa bagi para pembelajar di dunia pendidikan.

Sedangkan, sisi gelap teknologi ini, lanjut Harkristuti, baik dari aspek keterbatasan teknologi, persoalan etika, dan bahkan terbelenggunya sisi kemanusiaan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI, Profesor Heru Suhartanto, menambahkan, dari sisi terang manfaat ChatGPT ada sekitar 80 cara untuk memanfaatkan ChatGPT di ruang kelas dengan kemampuan, kecepatan, dan akurasi penyediaan informasi.

2. ChatGPT dapat menghasilkan teks berkualitas melalui konsep Reimagine Education

ilustrasi menggunakan ChatGPT untuk personal statement (IDN Times/Rifki Wuda Sudirman)

Sementara, Ketua Panitia Webinar, Profesor Riri Fitri Sari menyebut ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan teks berkualitas melalui konsep Reimagine Education.

“Ini karena ChatGPT memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan dengan akurasi yang tinggi, dan mengambil informasi dari sumber daya eksternal, seperti Wikipedia," kata dia.

Selain itu, kata Riri, ChatGPT juga dapat digunakan untuk menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain dengan akurasi yang baik.

"Serta memiliki kemampuan menyelesaikan teks yang tidak lengkap dengan menggunakan konteks dan informasi yang diberikan,” ujar dia.

3. ChatGPT bisa berdampak persoalan hukum dan etika

OpenAI

Meski demikian, lanjut Riri, dari sisi gelap penggunaan ChatGPT yang harus diperhatikan seperti misinformation, disinformation, dan malinformation yang berdampak pada persoalan hukum dan etika.

Bahkan, kata dia, persoalan hukum yang bertingkat pada level kebijakan global dan nasional sudah diidentifikasi. Beberapa dampak buruk penggunaan ChatGPT adalah akurasi yang tidak 100 persen, karena data yang diambil dari internet kurang lengkap. Ketidaklengkapan ini bisa disebabkan kurangnya konteks.

Baca Juga: Ngobrol Bareng ChatGPT: Soal Pemblokiran dan Data Pribadi

4. Menumpulkan pemikiran kritis

ilustrasi belahan otak manusia (Pexels.com/MARTPRODUCTION)

Menurut Guru Besar Fasilkom UI, Profesor Wisnu Jatmiko, ChatGPT cerdas tetapi dapat salah memahami konteks, sehingga menghasilkan output yang tidak benar. ChatGPT dilatih dengan data, dan jika data tersebut bias, mesin juga akan bias.

Selain itu, menurut Wisnu, pemanfaatan ChatGPT yang kurang tepat juga dapat menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa. Padahal, salah satu hal paling berharga yang dapat dikembangkan mahasiswa adalah pemikiran kritis.

“Jika jawaban dari seluruh pertanyaan selalu tersedia di ujung jari mereka, mereka merasa tidak perlu berpikir sendiri. Misalnya, seorang mahasiswa meminta ChatGPT untuk menuliskan esai untuk mereka, hal itu tidak hanya membuat kurangnya pemikiran asli, tetapi juga merupakan bentuk plagiarisme,” ujar Wisnu.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya