TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Alasan Napi Teroris di Mako Brimob Ngotot Dipertemukan Aman Abdurrahman

Ada peran Aman dalam negosiasi polisi dengan napiter?

AFP PHOTO/Bay Ismoyo

Jakarta, IDN Times - Napi teroris (napiter) yang membuat kericuhan di rutan cabang Salemba kompleks Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, sempat mendesak polisi agar dipertemukan dengan Aman Abdurrahman saat menyandera anggota kepolisian. Para napi teroris dianggap kehilangan sosok panutannya.

Baca juga: Namanya Disebut-sebut di Tragedi Mako Brimob, Siapa Aman Abdurrahman?

1. Napiter membutuhkan sosok 'orangtua'

Istimewa

Pengamat terorisme Harits Abu Ulya berpendapat para napi terorisme saat ini membutuhkan sosok panutan, sehingga mendesak polisi agar dipertemukan dengan Aman yang juga mendekam di blok yang berbeda itu.

"Mereka butuh 'orang tua' untuk ambil sikap selanjutnya. Legitimasi moral dan teologis," ujar Harits kepada IDN Times, Kamis (10/5).

Namun, kerusuhan di Mako Brimob sejatinya tidak terkait sidang tuntutan Aman yang akan berlangsung besok, Jumat (11/5). Aman kini memang menjadi terdakwa kasus Bom Thamrin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

"Gak terkait," ucap dia. 

2. Kerusuhan di Mako Brimob tidak terkait ISIS

Istimewa

Menurut Harits insiden berdarah di Mako Brimob tidak terkait Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia. Kendati, para napi memang ditangkap karena terkait organisasi radikal itu. 

"Tidak terkait ISIS. Tapi mereka napiter adalah ditangkap karena terkait isu ISIS, jadi mereka rata-rata simpatisan ISIS," ujar dia.

Harits tidak yakin masalah makanan sebagai memicu terjadinya insiden tersebut. Menurut dia, ada akumulasi berbagai masalah yang sebelumnya dialami napi terorisme di rutan. Misalnya, petugas Densus di Mako Brimob yang masih baru dan relatif muda, hingga sikap overackting muncul dan melahirkan rasa benci pada diri napiter.

"Yang tidak kalah penting, perlu evaluasi kinerja Densus pasca-investigasi dari insiden ini. Karena bisa saja insiden ini muncul karena akumulasi kemarahan napiter, sebab perlakuan aparat Densus yang ada di rutan terhadap mereka yang dianggap tidak adil dan lain-lain. Jadi bukan semata spontanitas karena soal makanan, tapi akumulatif," kata dia. 

3. Ada peran Aman dalam negosiasi polisi dengan napiter?

Istimewa

Harits juga beranalisa kepolisian 'menggunakan' Aman untuk berkomunikasi dengan napiter melalui perwakilannya, seperti Alex dan Muflich, untuk mengatasi kericuhan di rutan Mako Brimob. 

"Pihak aparat melakukan pendekatan kepada Aman terlebih dahulu, agar ia bisa membantu menyelesaikan insiden tersebut. Mengingat Aman juga dikabarkan ada di rutan yang sama meski di tempat yang beda. Dan Aman posisinya dipatuhi dan didengar pendapatnya," kata dia 

Dalam insiden ini, lanjut Harits, bisa jadi Aman tidak sependapat dan tidak mendukung aksi napiter yang latar belakang aksinya adalah urusan perut atau hal kurang penting. Ditambah argumentasi dan pertimbangan lainnya. 

"Itu bisa kuat pengaruhnya bagi napiter untuk berpikir lebih rasional. Akhirnya meletakkan senjata semua dan keluar menyerah satu persatu. Jadi kemungkinan besar Aman punya peran dalam proses menyerahnya napiter," kata dia.

4. Level militansi napiter berbeda-beda

Istimewa

Harits menyebutkan 156 napiter memiliki level militansi berbeda, dan tidak semua masuk lingkaran inti atau militan. Paling tidak, 10 di antaranya yang memegang senjata adalah masuk dalam lingkaran inti, dengan militansi yang lebih dibandingkan lainnya. 

"Karena itu, 145 napiter lebih mudah diajak berbicara dan masih memilih tawaran rasional dari pihak aparat," kata dia.

Kendati, menurut Harits, mereka tidak sepenuhnya mandiri. Buktinya, mereka sempat meminta bertemu sosok ideolog dan rujukan mereka, yaitu Aman. "Nah dari situ terlihat, meski militan tetap saja mereka manusia yang masih bisa diajak bicara untuk mencari solusi terbaik."

5. Ada unsur kelalaian di kepolisian?

ANTARA FOTO/Eko Suwarso

Harits curiga adanya unsur kelalaian anggota kepolisian, hingga para napiter dengan mudah mendapatkan dan menguasai senjata api, senjata sajam, hingga bom di rutan Mako Brimob.

"Kesannya paradok, senpi-senpi tersebut direbut dari aparat Bhayangkara (Densus) terbaik, oleh para napiter yang notabene mereka tidak terlatih dalam banyak hal," kata dia.

Namun, Harits mengapresiasi langkah Polri dalam menanggulangi kericuhan di Mako Brimob yang menggunakan pendekatan persuasif, hingga 155 napiter menyerah tanpa timbul korban tewas. 

"Mungkin ke depan juga lebih profesional, mengingat kasus yang lalu-lalu seperti penindakan terorisme di Ciputat atau di Jawa Tengah, Mojosongo dan lainny, mereka jumlah sedikit dan senjata sedikit tapi jatuh korban. Ini 10 orang pegang senjata dengan amunisi yang cukup tapi happy ending. Sesuatu yang luar biasa," kata dia.

Baca juga: 5 Polisi Yang Gugur dalam Insiden Mako Brimob Adalah Petugas Pemberkasan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya