TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Trik Ala Dokter Hafiz Aini Supaya Pasien Virus Corona Berkata Jujur

Cara dokter menanyakan pasien tak seperti interogasi

Dokter Hafiz saat bertugas menangani pasien COVID-19 di RSUI. (Dok. Pribadi)

Depok, IDN Times - Sudah banyak kasus tenaga medis yang terpapar virus corona saat menangani pasien COVID-19, lantaran tak dibekali Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai. Namun, itu bukan faktor satu-satunya, karena belakangan ketidakjujuran pasien jadi momok bagi tenaga medis.

Ketua Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Marhaen pernah menyebut, banyak pasien yang tak bersikap transparan perihal gejala penyakit dan riwayat perjalanan ke wilayah terpapar COVID-19, maupun ke daerah yang telah ditetapkan sebagai zona merah.

Informasi yang jujur jadi kunci bagi dokter untuk mengidentifikasi penyebab seorang pasien terpapar virus corona, sehingga dapat segera dilakukan penindakan medis dan meminimalkan risiko penularan COVID-19.

Dari kebanyakan kasus, ketidakjujuran pasien suspect ditengarai karena khawatir mendapat stigma negatif dari publik, terutama dari rekannya yang memiliki riwayat kontak dengannya. Untuk bisa menggali informasi sebenar-benarnya dari pasien, dokter punya siasat sendiri.

Begini penuturan dr Muhammad Hafiz Aini yang berbagi pengalamannya kepada IDN Times dalam ‘membujuk’ pasien hingga bersedia berkata terus terang soal riwayatnya.

Baca Juga: Cerita Dokter saat Kenakan Baju Hazmat: Baru 5 Menit Sudah Megap-megap

1. Perlu pertanyaan yang mendetail dan ditanya berulang kali

Dokter Hafiz (kiri) dalam kampanye #dirumahaja (Dok. Pribadi)

Dokter Hafiz, begitu ia akrab disapa, sudah sejak akhir Maret lalu bertugas menangani pasien COVID-19 di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Saat lepas jaga, ia lanjut bertugas di ruang poliklinik atau IGD, karena keahliannya sebagai dokter spesialis penyakit dalam.

Berkomunikasi dengan pasien yang punya ragam karakter jadi kesehariannya, namun rasanya akan berbeda pada masa pandemik seperti sekarang ini. Rasa khawatir tertular datang begitu saja, tatkala berhadapan dengan pasien bergejala khas COVID-19 di ruang praktiknya.

Prinsip Hafiz saat mendengar keluhan pasien adalah rasa percaya. Kendati, ia tetap mencari tahu apa yang sebenarnya dikeluhkan pasien dengan melempar beberapa pertanyaan secara beruntun. Dengan begitu, berharap bisa memperoleh sebanyak mungkin informasi dari pasien, sehingga bisa menentukan langkah penindakan medis selanjutnya.               

“Kalau di RSUI kita screening, jadi ada pertanyaannya beruntun, supaya kami bisa menilai pasien masuk zona hijau, kuning atau merah,” ucap dia saat live Instagram bersama IDN Times, Sabtu (18/4).

Namun, untuk mendapat informasi yang detail, ada perjuangan di baliknya. Hafiz mengatakan gaya komunikasi dalam bertanya menjadi kunci ‘membujuk rayu’ pasien berkata jujur.  

“Memang kita harus tanya berulang-ulang karena ketika ditanya sekali dia jawab tidak, tapi ketika ditanya kemudian barulah berkata jujur. Seperti saat ditanya sekali ada batuk dan pilek? Gak, terus pas ditanya lagi ada batu pilek, pak? Ada,” kata Hafiz, mengingat pengalaman bersama pasiennya.   

Dengan begitu, menurut Hafiz, informasi yang diharapkan seperti riwayat bepergian pasien dan gejala yang dirasakan bisa diketahui seterang-terangnya.

(IDN Times/Arief Rahmat)

2. Cara bertanya dokter jangan disamakan dengan cara polisi

Ilustrasi (Freestockphotos/Rhoda Baer)

Hal lain yang Hafiz selalu pikirkan adalah menimbang-nimbang psikis pasien ketika berkomunikasi. Menurut dia, dokter tak bisa pakai cara interogasi ala polisi, karena yang dibutuhkan adalah cara persuasif.  

“Jadi nomor satu adalah ketika bertanya jangan seperti polisi, tetapi pelan dan pada akhirnya nanti juga mereka menjawab. Setelah enak kan mereka akan mengatakan hal yang jujur,” tutur dia.

“Mereka ini kadang-kadang pas datang sudah takut, apalagi kalau melihat dokter yang sudah pakai baju hazmat lengkap,” Hafiz, menimpali lagi.

Di samping itu, dokter selalu berprinsip tak gampang menjustifikasi pasien, berbohong misalnya. "Kita gak bisa sengaja menganggap pasien berbohong, karena ketika seperti itu justru masyarakat jadi takut, panik, dan kejujuran itu malah gak muncul,” ucap Hafiz.

Baca Juga: IDI: Pasien COVID-19 Tak Jujur Sebabkan Kematian Dokter

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya