TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Oligarki Politik Pengaruhi Anak Muda untuk Golput

Partai dinilai masih dikuasai elite yang tolak perubahan

ANTARA FOTO/Akbar Tado

Jakarta, IDN Times - Setidaknya sejak Januari lalu muncul perdebatan mengenai apakah keputusan seseorang untuk Golput layak dihormati. Salah satu contoh terbaru adalah viralnya akun Twitter Lini Zurlia mulai akhir pekan kemarin.

Perempuan yang mengidentifikasi diri sebagai aktivis queer feminis tersebut mengunggah foto dengan membawa kertas bertuliskan 'Saya Golput' dan caption #SayaGolput. Dalam wawancara dengan IDN Times pada Senin (1/4), Lini mengatakan salah satu alasannya menjadi Golput adalah kekecewaan terhadap oligarki politik di Indonesia.

Baca Juga: Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia Maya

1. Kekecewaan terhadap sistem politik membuat Lini memilih untuk tidak memilih

Cuitan Lini mendapatkan ribuan retweet dan banyak sekali komentar. Apa yang diusungnya menjadi perbincangan luas. Ia menegaskan bahwa Golput adalah hak yang dijamin konstitusi.

Sepanjang wawancara, suara Lini sendiri mengesankan rasa frustrasi dan pesimisme. Ia mengaku ada beberapa alasan mengapa dirinya memilih untuk tidak memilih. Tak hanya karena Lini menilai petahana Joko Widodo (Jokowi) gagal memenuhi janji seperti menyelesaikan kasus HAM serta melindungi perempuan, tapi juga disebabkan sistem politik di Indonesia.

2. Oligarki di tubuh partai politik menjadi ganjalan terhadap perubahan

ANTARA FOTO/Akbar Tado

"Ternyata presiden gak lebih dari— ya gimana sistem politik kita memang sudah oligarch. Harapan-harapan yang tadinya berkembang, ternyata berkembangnya gak lama. Kita gak bisa menutup mata bahwa memang oligarki politik itu bersarang, bercokol dan sangat kuat," kata Lini.

Namun, ia sendiri tidak yakin dengan saran untuk masuk ke dalam sistem. "Yang tadinya angkat tangan kiri, anti-oligarki, masuk ke partai ternyata sampai ke dalam sulit juga berhadapan dengan sistem yang beriman kepada pemodal. Susah. Kecuali Undang-undang Pemilu dan jaminan kelompok masyarakat untuk membikin partai itu diubah."

3. Partai politik masih dikuasai para elite

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Apa yang diprotes Lini sebenarnya valid, apalagi dengan identitasnya sebagai aktivis pembela kelompok minoritas seperti LGBT. Persoalan penguasaan partai politik oleh oligarki ini sebenarnya sudah pernah disinggung oleh Mahardika dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) saat wawancara dengan IDN Times beberapa waktu lalu.

Salah satu pertanyaan IDN Times kala itu adalah tentang penentuan Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi. Ia mengatakan, masyarakat bisa melihat proses penentuan cawapres dan bahkan bangunan koalisi dilakukan sangat tertutup. Hanya elite-elite yang menentukan.

"Cawapres akhirnya dipilih berdasarkan selera elite-elite partai. Konsekuensinya pilihan buat kaum muda jadi sangat terbatas, baik dari segi kuantitas maupun segi gagasan dan program," ujarnya.

4. Partai-partai penguasa sendiri tidak membuka jalan bagi anak muda yang progresif

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

Salah satu saran yang ditawarkan kepada orang Golput adalah untuk masuk ke dalam sistem. Namun, menurut pengamatan Mahardhika sendiri, partai-partai besar masih enggan melepaskan cengkeraman mereka sehingga anak muda pun malas mencalonkan diri.

"Pertimbangan pertama partai memang ya pragmatis saja, ya yang elektabilitas dan popularitasnya tinggi," kata dia. Tidak punya popularitas? Bisa jadi persyaratan lainnya adalah uang atau relasi di dalam tubuh partai.

"Anak muda sendiri melihat partai memang jenjang karirnya gak jelas. Terus dia harus punya patron di elite-nya untuk menempati posisi-posisi strategis kayak ketua, sekjen dan segala macam," jelas Mahardika. 

"Partai itu tidak melihat apakah dia perempuan atau laki-laki. Partai tidak melihat muda atau dewasa. Kalau punya elektabilitas tinggi partai dengan mudah memberikan dukungan kepada si anak muda itu," imbuhnya.

Seseorang yang mendukung kelompok LGBT seperti Lini tentu sangat sulit diterima oleh partai politik saat ini. Artinya, selama partai-partai besar masih menganggap LGBT sebagai barang haram, politik progresif yang tak kenal kompromi tetap menemukan kebuntuan.

Baca Juga: Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah Golput

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya