Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia Maya

Lini Zurlia viral karena tagar #SayaGolput

Jakarta, IDN Times - Foto perempuan berambut pendek dan berkacamata itu mendadak muncul berkali-kali di laman Twitter sepanjang akhir pekan kemarin. Ia tampak memperlihatkan sebuah kertas putih kecil bertuliskan "Saya Golput". Sampai hari ini, foto dengan tagar #SayaGolput itu mendapatkan lebih dari seribu retweet.

Lini Zurlia, yang mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis queer feminis di Twitter, mengaku tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sebesar ini ketika secara terbuka menyampaikan bahwa dia adalah bagian dari Golongan Putih atau Golput di media sosial.

Reaksi tersebut tidak selalu positif. Bahkan, dari pengamatan sekilas, banyak sekali yang justru mengintimidasi Lini dengan menyerang penampilan atau identitas seksualnya sebagai seorang queer. Selain itu, ia juga dituding sebagai 'millennial manja' karena memilih untuk tidak memilih.

IDN Times menghubungi Lini pada Senin siang (1/4) untuk mencari tahu mengapa ia dan teman-temannya yang juga aktivis memutuskan Golput, serta apa tanggapannya terhadap intimidasi dunia maya yang ditujukan kepadanya.

IDN Times: Sejak kapan dan mengapa memutuskan Golput?

Lini Zurlia: Coming out-nya baru beberapa hari yang lalu, tapi menyadari ada ketidakberesan itu setelah banyaknya janji-janji pemilu, janji-janji politik, yang tidak dijalankan.

Let’s say soal pelanggaran HAM masa lalu. Itu cuma jadi lip service atau cuma jadi kayak bahan kampanye politik aja di 2014. FYI, 2014 itu pertama kali aku memilih salah satu pasangan, tapi bukan berarti pertama kali masuk TPS.

Waktu 2014 punya harapan-harapan baru. Banyak teman-temanku yang aktivis juga berpikir ‘Wah! Ada harapan baru nih!’ karena ada seseorang yang bukan petinggi partai, bukan pemilik partai, tapi dicalonkan menjadi presiden.

Ketika calon yang saya pilih menang, saya tidak kemudian jadi pendukung begitu saja. Saya kembali bertugas sebagai warga negara yang harus memonitor kinerja pemerintah dalam menjalankan janji-janji politiknya di mana ternyata banyak sekali yang tidak ditepati.

Kalau ada yang bilang bahwa ada perkembangan-perkembangan yang lebih baik, sah saja. Tapi sah juga dong saya bilang ada janji-janji politik yang tidak ditepati oleh presiden.

Baca Juga: Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam Politik

Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia Mayatwitter.com/Lini_ZQ

IDN Times: Poinnya di tidak selesainya pelanggaran HAM?

Lini Zurlia: Gak cuma soal pelanggaran hak. Kalau dibuka lagi ada janji-janji soal keberpihakan terhadap perempuan, terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM yang tertuang banyak di dalam Nawacitanya.

Ternyata presiden gak lebih dari— ya gimana sistem politik kita memang sudah oligarch. Harapan-harapan yang tadinya berkembang, ternyata berkembangnya gak lama. Kita gak bisa menutup mata bahwa memang oligarki politik itu bersarang, bercokol dan sangat kuat.

IDN Times: Ada faktor pemilihan calon wakil presiden?

Lini Zurlia: Mmm itu—tentu saja iya. Menggunakan politik identitas sebagai sebuah strategi kampanye politik itu kan jahat banget. Kita mengingatkan jangan sampai menggunakan agama sebagai basis kampanye politik, basis kepentingan politik.

Pendukungnya berkoar-koar bahwa ’Yuk! Mendukung toleransi beragama’ dan blablabla tiba-tiba jedeeerrr! memilih seorang calon wakil presiden yang kita semua tahu track record-nya kayak gimana.

IDN Times: Apa ada tujuan tertentu di balik keputusan mengunggah foto dengan hashtag #SayaGolput ?

Lini Zurlia: Tujuan saya tentu saja mengekspresikan ekspresi politik saya. Semua orang berekspresi soal pilihan politiknya, masa saya gak boleh? Semua orang mengacungkan jari satu atau jari jempol, berfoto dengan presiden, dengan Prabowo-Sandi, masa saya gak boleh mengekspresikan pilihan politik saya yang sah dijamin undang-undang?

Satu kesalahan di Twitter itu ya, ‘Kalau lo golput, ya jangan complaint’, ‘Kalau lo golput, ya jangan protes’, ‘Kalau lo golput, jangan minta ini, minta itu’. Itu adalah disinformasi. Kontrak negara terhadap warga negara diatur konstitusi, bukan di dalam kotak suara atau selembar surat suara.

IDN Times: Terkait "kontrak politik diatur dalam konstitusi, bukan kotak suara", apa maksudnya?

Lini Zurlia: Kita punya hak sebagai warga negara yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan turunan-turunannya. Nah, di dalam undang-undang, kita dijamin haknya untuk mengekspresikan pendapat. Dijamin juga untuk mengkritik pemimpin negara dan gak bisa dibatasi dengan gara-gara kita golput, terus kita gak boleh melakukan kritik.

Baca Juga: Mahfud MD: Golput Tidak Apa-Apa

Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia MayaANTARA FOTO/Akbar Tado

IDN Times: Kenapa ada yang mengatakan Golput adalah haram?

Lini Zurlia: Coba tanya ke MUI (Majelis Ulama Indonesia). [Tertawa]. Tapi begini, orang itu melihat Golput cuma sebagai tindakan yang, 'Lo malas aja' atau 'Lo gak tanggung jawab', tanpa mempertanyakan kenapa ada yang memilih golput.

Kalau gerakan Golput membesar itu kan berarti there’s something wrong with the system. Nah, supposedly mereka melihat ada apa di balik gerakan Golput itu, bukan kenapa Golput haram, tolol, dosa, dan sebagainya.

Aslinya kan ada sesuatu yang gak beres. Nah, yang gak beres ini apa? Itu yang seharusnya didiskusikan, bukan kemudian menyerang individu-individu yang mengeskpresikan pilihan politiknya.

IDN Times: Pew Research menyebut 55 persen Golput saat Pilpres 2016 adalah pemilih Demokrat atau yang condong ke Demokrat. Mereka dikatakan bertanggung jawab atas terpilihnya Donadl Trump. Apa pendapat Lini soal framing ini?

Lini Zurlia: Aku gak setuju sama narasi itu. Di Amerika, setelah Trump terpilih hari ini, besoknya seluruh distrik-distrik di Amerika dipenuhi dengan aksi-aksi. Itulah kenapa Women’s March muncul.

Itu bentuk ekspresi politik warga negara Amerika terhadap terpilihnya Donald Trump. Disalahkan gak orang-orang yang Golput? Gak dong. Tentu saja orang-orang punya keputusan. Track record Hillary itu dilihat. Bagaimana Hillary sangat dekat dengan kelompok-kelompok pemberi modal. 

Nah, apakah golput yang harus disalahkan? Gak, mereka tetap American citizen dan mereka tetap dilindungi oleh perundang-undangan Amerika. Mereka tetap turun ke jalan. Mereka tetap melakukan kritik, bahkan hingga hari ini.

IDN Times: Apa hasil yang ingin didapat oleh teman-teman Golput?

Lini Zurlia: Menginginkan adanya revisi undang-undang Pemilu. Menginginkan adanya perubahan-perubahan yang struktural dan itu terus dilakukan meski ada maupun tidak adanya Pemilu lima tahunan.

Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia MayaANTARA FOTO/ Akbar Tado

IDN Times: Ada yang bilang "kalau tidak puas dengan situasi politik kita, masuk ke sistem, jangan jadi milenial manja". Apa tanggapan kamu?

Lini Zurlia: Banyak banget teman-teman aktivis yang dulunya angkat tangan kiri, berperang sama oligarki partai, toh ketika masuk partai sama saja, bukan? Setelah masuk partai—mau banget kita sebutin sudah berapa orang yang pakai rompi oranye?

Yang tadinya angkat tangan kiri, anti-oligarki, masuk ke partai ternyata sampai ke dalam sulit juga berhadapan dengan sistem yang beriman kepada pemodal. Susah. Kecuali Undang-undang Pemilu dan jaminan kelompok masyarakat untuk membikin partai itu diubah.

IDN Times: Lalu, bagaimana jalan menuju revisi itu?

Lini Zurlia: Melalui DPR. Bisa juga ke Mahkamah Konstitusi. Tapi kalau anggota-anggota dewan kita serving para pemilik modal, serving para elite, ya gak akan kejadian. Salah satu contoh adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Ini mangkrak sampai tahun kelima, padahal sudah masuk ke Prolegnas. Itu karena anggota dewan beriman dan mengabdi kepada elite. Coba kalau kepada konstituennya? Gak akan kejadian kayak gitu.

IDN Times: Kalau masuk ke sistem buntu, berteriak dari luar sistem pun buntu, Apakah kita harus mengandalkan political will orang-orang yang membuat kebijakan?

Lini Zurlia: Kita harap ada orang-orang yang punya political will atau orang-orang yang baik untuk mendorong dari dalam. Tapi tidak dinafikkan juga orang-orang yang sudah di dalam perlu terus diawasi oleh yang berdiri di samping jalan.

Dengan demikian demokrasi bisa berjalan dengan baik. Tapi kalau orang-orang yang berdiri di samping jalan tidak diberikan ruang, maka demokrasi kita di ambang kematian.

Baca Juga: Politik, Panggung yang Tak Ramah bagi Millennials 

Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia MayaANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

IDN Times: Banyak yang menyerang kamu setelah secara terbuka menyatakan Golput. Apakah ini berarti masyarakat belum memahami esensi Golput? Atau ada alasan lain?

Lini Zurlia: Bukan hanya karena mereka gak paham apa itu protest vote atau non-votingbehavior. Ternyata itu adalah cerminan masyarakat kita yang misoginis. Teman-temanku yang laki-laki banyak banget yang pakai hashtag #SayaGolput, gak ada yang diserang sampai ngatain lonte (pelacur).

Tapi ketika perempuan, apalagi saya beridentitas non-heteroseksual, itu penyerangannya very personal. Berapa banyak akun-akun dengan Twitter handle perempuan yang saya lihat yang juga menyerang ngatain 'feminis indie', 'SJW' apa lah. Artinya masyarakat kita masih menginternalisasi misogini.

Ketika perempuan mengekspresikan pandangan politiknya, pilihan politiknya, yang diserang adalah tubuhnya, yang diserang adalah fisiknya, yang diserang adalah identitasnya sebagai perempuan, identitas seksualnya. 

IDN Times: Ada coping mechanism buat merespons serangan itu?

Lini Zurlia: Kalau aku ketawa aja lah. [Tertawa]. Aku sih punya cita-cita nanti sebelum 17 April, mungkin tanggal 16 gitu, mau aku posting tuh orang-orang yang ngata-ngatain, yang menyerangnya sangat personal. Mau aku posting nih tingkah laku para pemilih kita. [Tertawa].

Baca Juga: Golput Merebak, Perlukah Mencoblos Diwajibkan?

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya