Warga Dolly Terus Berjuang Cari Rupiah Halal
Their struggle is real...
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Prostitusi adalah salah satu profesi paling kuno di dunia. Coba tengok kitab suci orang Kristen. Di sana ada beberapa ayat yang menyebutkan tentang profesi pelacur. Ribuan tahun kemudian, seks tetap menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan.
Bagaimana cara menghapusnya dari muka bumi? Menurut Karl Marx itu sulit dilakukan selama kapitalisme masih ada sebab "seks hanyalah salah satu bentuk prostitusi umum yang dilakukan pekerja".
Namun, tidak demikian menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Perangnya melawan kegiatan prostitusi di Jarak-Dolly sudah diketahui publik sejak ia menjabat pada 2010.
Empat tahun kemudian, tepatnya di bulan Juni, Risma secara resmi mengakhiri keberadaan lokalisasi legendaris itu. Perputaran uang sebesar miliaran rupiah per malam pun menghilang dalam sekejap.
Akan tetapi, langkah tersebut tidak membuat Putat Jaya –kawasan di mana lokalisasi itu berada– seratus persen bebas dari pekerja seks komersial (PSK). Beberapa warga yang kami temui mengaku masih ada yang tetap menjajakan diri, hanya saja jumlahnya sudah sangat jauh berkurang.
Baca juga: Rela Tak Jadi Pengacara, Perempuan Ini Pilih Main Film Porno
Tak hanya soal lingkungan, mata pencaharian warga pun turut berubah.
Meski begitu, secara kasat mata, Putat Jaya kini terlihat seperti perkampungan lainnya di Surabaya. Tak ada lagi pengeras suara sember yang memutar lagu-lagu house remix atau dangdut dengan kencang. Tak ada lagi ribuan kendaraan yang berjejer setiap waktu untuk mencari "kepuasan sesaat".
Bukan itu saja yang terlihat beda. Masyarakat yang dulu menggantungkan hidup dari lokalisasi dengan membuka warung kopi, toko kelontong, laundry maupun rumah kos kini menjalani kehidupan yang berbeda.
"Adik ipar saya baru keluar dari penjara. Dia ditahan tujuh bulan," kata salah satu ibu yang merupakan warga Putat Jaya. Saat kami tanya apa penyebabnya, ibu itu menjawab, "Dia buka 'layanan' diam-diam, lalu ketahuan aparat. Sekarang dia mungkin stres karena dulu kan punya wisma."
Tak bisa dipungkiri bahwa urusan ekonomi menjadi perbedaan lain yang mencolok dari lingkungan bekas lokalisasi Jarak-Dolly, terutama beberapa bulan setelah ditutup. "Banyak yang kaget. Persoalannya kan mau kerja apa?" ujar Dwi, seorang ibu rumah tangga yang kami wawancara.
Hal senada juga diungkapkan oleh Jarwo. Selama bertahun-tahun ia berjualan kopi dengan keuntungan ratusan ribu per hari. Ia sempat dikenal sebagai salah satu warga terdampak yang dengan keras menolak penutupan Dolly.
Editor’s picks
Jarwo bahkan masuk daftar pencarian orang (DPO) yang disebar oleh polisi karena aksi demonstrasinya di kantor kecamatan dan pasar. "Kalau bisa jangan langsung menutup semuanya, tapi pelan-pelan, sampai kami punya modal," ucapnya.
"Saya menolak karena yang dapat kompensasi hanya PSK, mucikari dan pemilik wisma, sedangkan PKL (pedagang kaki lima) juga warga terdampak, gak dapat ganti rugi, bagaimana nasibnya?" kata Jarwo.