TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tafsir Golkar Soal Diksi 'Tanpa Persetujuan Korban' di Permendikbud

Korban kekerasan seksual rentan menerima sanksi sosial

Hetifah Sjaifudian. (instagram.com/hetifah)

Jakarta, IDN Times - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi menimbulkan polemik. Salah satu yang menjadi polemik adalah diksi 'tanpa persetujuan korban'.

Wakil Ketua Komisi X DPR fraksi Golkar, Hetifah Sjaifudian, mengatakan formulasi tersebut untuk melindungi korban agar tidak terkena sanksi. Sebab dari laporan yang diterimanya, seringkali korban takut melaporkan kekerasan seksual karena terkena sanksi sosial, yakni dituduh 'suka sama suka' dengan pelaku.

"Formulasi 'tanpa persetujuan korban' itu kan sebetulnya bertujuan untuk menjamin bahwa korban tidak akan mengalami sanksi dari kampus setelah pemaksaan oleh pelaku kekerasan seksual, sehingga korban pun merasa aman dan bebas untuk mengadukan kasusnya," kata Hetifah dalam keterangannya, Kamis (11/11/2021).

Baca Juga: Muhammadiyah Minta Cabut, Menag Justru Dukung Permen Kekerasan Seksual

Baca Juga: Diksi 'Tanpa Persetujuan Korban' di Permendikbud Sebaiknya Dihapus

1. Tak ingin polemik Permendikbud hambat penanganan kekerasan seksual di kampus

Ilustrasi/Kampus MDP Buat Aplikasi Mengantre Vaksinasi Cegah Kerumunan (IDN Times/Dok. Kampus MDP)

Hetifah mengapresiasi Kemendikbud Ristek dalam membuat aturan ini. Dia mengatakan, aturan ini dibuat untuk mengatasi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Namun, legislator Golkar itu menyayangkan, aturan tersebut justru menimbulkan polemik karena perbedaan persepsi. 

"Padahal kita sedang berbenah agar kampus menjadi tempat yang aman dan kondusif. Jangan sampai kekisruhan ini menjadikan upaya ini mengalami kemunduran dan bahkan terhambat," ucapnya.

Baca Juga: PKS Desak Permendikbudristek Cegah Kekerasan Seksual di Kampus Dicabut

2. Kampus harus tegas menangani kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Kasus kekerasan seksual di kampus, kata Hetifah, terkadang terjadi dengan memanfaatkan ketimpangan kuasa yang ada, contohnya dosen terhadap mahasiswa. Agar masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus bisa diatasi, Hetifah ingin agar setiap kampus lebih menegakkan aturannya.

"Sesuai dengan norma dan nilai-nilai agama di Indonesia, pengaturan terhadap tindak asusila dalam tata tertib kampus perlu ditegakkan dengan semakin tegas. Namun, pada saat bersamaan, perlu diberikan jaminan bahwa korban kekerasan seksual yang mengalami pemaksaan tidak akan dihukum sebagai pelaku tindakan asusila," kata Hetifah.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya