TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Akun WhatsApp Milik Sejumlah Aktivis Diretas saat Diskusi Soal KPK

Muncul tampilan video porno dengan nama akun Abraham Samad

Ilustrasi pesan aplikasi WhatsApp (IDN Times/Paulus Risang)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah aktivis pada Senin, 17 Mei 2021 lalu mendapat rentetan teror digital melalui beberapa platform. Akun pesan pendek yang digunakan sejumlah aktivis diretas.

Saat itu, organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) sedang siap-siap menyelenggarakan diskusi virtual bertajuk "Menelisik Pelemahan KPK Melalui Pemberhentian 75 Pegawai" yang digelar pukul 13.00 - 15.00 WIB. 

Peneliti Wana Alamsyah mengatakan ada beberapa pola teror yang ia dan sejumlah aktivis alami. Diskusi yang diikuti tujuh eks pimpinan komisi antirasuah tersebut, merupakan bagian dari advokasi agar 75 pegawai itu tak dipecat karena tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). 

Salah satu pola teror yang terjadi yakni ketika diskusi sedang berjalan, tiba-tiba muncul video dan foto porno di ruangan Zoom. Video dan foto itu muncul di akun yang dinamai Abraham Samad, Ketua KPK periode 2011-2015. 

Ketika dikonfirmasi, Abraham mengakui tidak mengetahui soal tampilan video dan foto porno dengan menggunakan namanya. Ia mengatakan berusaha masuk ke dalam platform Zoom tapi tak bisa terhubung. Ia mengaku sempat masuk sekali tapi kemudian terputus. 

"Mungkin ada kesalahan teknis, karena saya sempat masuk ke dalam Zoom-nya," kata Abraham, Selasa (18/5/2021). 

Teror dengan menggunakan akses digital semacam ini bukan kali pertama terjadi dan menimpa sejumlah aktivis yang tengah melakukan advokasi. Lalu, apa yang hendak dilakukan oleh sejumlah aktivis itu?

Baca Juga: Jokowi Minta Hasil Tes ASN Tak Dijadikan Dasar Pecat 75 Pegawai KPK  

1. Pola-pola yang digunakan untuk meneror aktivis ketika sedang diskusi mengenai KPK

Ilustrasi gedung KPK (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Menurut Wana, yang mengalami teror melalui platform digital bukan hanya aktivis dari ICW. Ada pula aktivis dari LBH Jakarta dan Lokataru.

Bahkan, mantan peneliti ICW, Tama S Langkun, tak luput ikut kena sasaran teror. Padahal, ia sudah pindah bekerja di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dia menuturkan sebelum menunjukkan foto dan video porno di ruang diskusi, pelaku berpura-pura menjadi salah satu pembicara dan masuk ke ruang diskusi. 

"Mereka juga menggunakan nama para staf ICW untuk bisa masuk ke dalam ruang diskusi," kata Wana melalui keterangan tertulis yang diterima, hari ini. 

Setelah masuk, kata dia lagi, pelaku juga mematikan mikrofon dan video pembicara. Ada tujuh eks pimpinan KPK yang menjadi pembicara, yaitu Busyro Muqoddas; Adnan Pandu Praja; Saut Situmorang; Moch Jasin; Busyro Muqoddas; Agus Rahardjo; dan Abraham Samad. Namun, Samad tak bisa ikut ke dalam ruangan itu. 

Selain menyasar ke para pembicara, pelaku juga membidik moderator pada acara itu dan peneliti ICW Nisa Rizkiah. Nisa sempat dibuat pusing karena akun GoJeknya juga diretas. Tiba-tiba enam ojek daring sudah menghampiri rumahnya dan membawa pesanan makanan. Padahal, ia tak merasa memesannya. 

Akun WhatsApp Nisa juga diretas dan diambil alih oleh orang lain. Menurut Wana, total ada delapan staf ICW yang akun WhatsAppnya diretas. 

"Beberapa orang yang nomor WhatsApp nya diretas sempat mendapatkan telepon masuk menggunakan nomor luar negeri (dari Amerika Serikat) dan juga puluhan kali dari nomor provider Telkomsel," tutur dia. 

Terakhir, ada pula upaya untuk mengambil alih akun Telegram dan e-mail beberapa staf ICW, tapi hal tersebut gagal. "Saat ini semua akun sudah kembali pulih," katanya lagi. 

2. Serangan digital dianggap cara baru untuk membungkam suara kritis warga

Ilustrasi kebebasan berpendapat dibatasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Wana mencatat bukan kali ini saja peristiwa serangan teror menggunakan platform digital terjadi. Menurut ICW, pelaku merupakan individu yang tidak sepakat dengan advokasi masyarakat sipil terkait penguatan pemberantasan korupsi. 

"Pembungkaman suara kritis warga melalui serangan digital merupakan cara baru yang anti-demokrasi," kata Wana. 

Oleh sebab itu, Wana melanjutkan, ICW mengecam segala tindakan tersebut dan mendesak agar penegak hukum memprosesnya. Tindakan itu, kata dia, jelas ingin membungkam suara kritis warga. 

Baca Juga: Dikabarkan Tak Lolos Jadi ASN KPK, Novel: Upaya Singkirkan Orang Baik

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya