TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini yang Jadi Dasar Hakim Jatuhkan Vonis 13 Tahun Bagi Eks Kepala BPPN

Hakim menilai Syafruddin tidak mengakui perbuatannya

(Terdakwa kasus korupsi BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung) ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Jakarta, IDN Times - Jelas sudah nasib terdakwa kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Temenggung. Pada Senin (24/9), majelis hakim menjatuhkan vonis 13 tahun dan denda Rp 700 juta. Ia dinilai terbukti telah melakukan tindak kejahatan dengan menyalahgunakan posisinya sebagai Kepala BPPN periode 2002-2004 untuk menguntungkan pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim. 

Sjamsul merupakan salah satu obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mendapat dana Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. 

Usai pembacaan vonis, Syafruddin langsung menolak putusan majelis hakim dan mengajukan banding. 

"Satu hari pun satu detik pun dihukum, maka saya akan mengajukan banding," kata pria berusia 61 tahun itu. 

Namun, apa yang menjadi dasar majelis hakim menjatuhkan hukuman yang cukup berat itu? 

Baca Juga: Eks Kepala BPPN Syafruddin Divonis 13 Tahun dalam Kasus Korupsi BLBI

1. Majelis hakim menilai Syafruddin tidak mengakui perbuatannya

(Terdakwa kasus BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Majelis hakim mengatakan sejak awal Syafruddin tidak memiliki niat baik karena tidak mengakui perbuatannya. Selain itu, pria berusia 61 tahun tersebut tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. 

"Apalagi korupsi adalah tindak kejahatan yang luar biasa," kata majelis hakim ketika membacakan pertimbangan yang memberatkan sore tadi. 

Padahal, menurut majelis hakim, Syafruddin sudah tahu sejak awal adanya utang tambak yang macet senilai Rp 3,9 triliun namun tidak ia sampaikan ke rapat terbatas yang dihadiri oleh Presiden Megawati pada 11 Februari 2008. 

"Namun, saat rapat bersama KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) dan menyebut hasil ratas menyetujui adanya penghapus bukuan utang petambak," kata mereka lagi. 

Sementara, hal-hal yang dianggap meringankan antara lain Syafruddin belum pernah dihukum sebelumnya dan bersikap sopan selama proses persidangan. 

2. Presiden Megawati tidak pernah menyetujui penghapus bukuan

IDN Times/ Teatrika Putri

Di dalam persidangan yang digelar hari ini, majelis hakim menyatakan Presiden Megawati tidak terlibat dalam kasus korupsi BLBI. Hal itu lantaran, Megawati tidak pernah menyetujui adanya usulan penghapus bukuan utang petani tambak udang dari Rp 3,9 triliun menjadi Rp 1,1 triliun. 

"Terkait dengan ratas mengenai pembahasan penghapus bukuan utang petambak, Presiden ketika itu tidak mengambil keputusan apa pun," ujar majelis hakim sore tadi. 

Pernyataan hakim itu berbeda dengan salah satu saksi yang meringankan dari pihak Syafruddin yakni mantan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo pada (16/8) lalu. Menurut Bambang, rapat terbatas pada tahun 2008 lalu itu digelar bukan atas usulan KKSK. 

"Ratas itu diusulkan oleh aparat keamanan dan intelijen," ujar Bambang. 

Hal itu lantaran, utang yang dimiliki oleh petambak semaking membengkak, karena ada devaluasi nilai Rupiah. Utang itu belum ditambah suku bunga yang amat tinggi, sehingga bisa dipastikan mereka tidak akan mampu membayar cicilan kredit ke bank. 

Situasi itu dikhawatirkan bisa memburuk dan dapat mengakibatkan kerusuhan sosial ekonomi. 

"Jadi, rapat itu tidak ada kaitannya dengan penyelesaian BLBI, tapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan," tutur dia. 

Kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra sempat bertanya apakah Megawati selaku Presiden ketika itu menyetujui penghapus bukuan utang petambak. Bambang mengatakan dalam pemahamannya yang hadir dalam rapat itu, presiden menyetujui. 

"Pada saat itu, Presiden Megawati melontarkan kalimat 'silakan dilanjutkan' dan menurut saya itu adalah satu bentuk persetujuan," kata Bambang ketika itu.  

Baca Juga: Ketika Terpidana BLBI Samadikun Hartono Serahkan Uang Tunai Rp 87 Miliar

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya