TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Epidemiolog: Penambahan PPKM Darurat Cuma Persiapan untuk Melonggarkan

Kasus harian rendah, tapi angka kematian tetap tinggi

Suasana Jakarta sekitar MH Thamrin saat PPKM Darurat pada Minggu (4/7/2021). (IDN Times/Sachril Agustin Berutu)

Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Dr Pandu Riono, menilai sebenarnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat tidak diperpanjang. Dalam pandangannya, justru rentang 21 Juli 2021 hingga 25 Juli 2021 diduga akan dimanfaatkan untuk persiapan melonggarkan pengetatan.

Salah satunya dengan menunjukkan data kasus harian positif COVID-19 yang turun. Padahal, bila ditelusuri lebih lanjut jumlah orang yang dites juga ikut menurun drastis. 

Berdasarkan data yang dilaporkan Satgas Penanganan COVID-19, penurunan kasus harian terjadi sejak 18 Juli 2021 hingga Rabu (21/7/2021). Dari semula kasus harian 51.952 lalu menurun menjadi 44.721, turun drastis ke angka 34.257 dan hari ini ada di titik 33.722 kasus.

Tetapi, penurunan kasus positif itu selaras dengan penurunan jumlah orang yang dites. Pada Rabu (21/7/2021) jumlah orang yang dites anjlok ke angka 116.232. Padahal, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat menyampaikan pemerintah ingin menggenjot tes COVID-19 hingga ke angka 500 ribu per hari. 

"Kelihatannya memang diatur datanya agar bisa mendukung dalam lima hari ke depan seolah-olah ada perubahan signifikan, sehingga pelonggaran tanggal 26 Juli 2021 bisa dijustifikasi," ujar Pandu ketika dihubungi IDN Times pada Rabu (21/7/2021). 

Ia menambahkan, dengan begitu tercipta persepsi seolah-olah pandemik COVID-19 di Tanah Air sudah berhasil dikendalikan. Padahal, virus Sars-CoV-2 masih menginfeksi warga secara masif. 

"Hal itu kan sudah dilakukan lebih dulu oleh India. Waktu terjadi kenaikan kasus (COVID-19) yang drastis, kan dilarang berita yang menjelek-jelekan India, termasuk varian baru (Delta) ditemukan kali pertama di India," tutur dia lagi. 

Lalu, apa dampaknya bila kondisi pandemik dikatakan seolah-olah sudah terkendali?

Baca Juga: Daftar Penyebaran Varian COVID-19 yang Mengkhawatirkan di RI

1. Jumlah kasus aktif dan kematian harian diprediksi akan terus melonjak

Ilustrasi pemakaman pasien positif COVID-19. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Menurut Pandu, meski angka kasus positif harian COVID-19 terus menurun, tetapi jumlah warga yang dirawat di rumah sakit dan meninggal diprediksi terus melonjak. Hal itu tidak bisa dibohongi.

Pada Rabu (21/7/2021), kasus kematian harian akibat COVID-19 kembali menorehkan rekor yakni 1.383 orang. Sebagian dari warga meninggal saat menjalani isolasi mandiri akibat tidak bisa dirawat di rumah sakit karena fasilitas kesehatan penuh. 

Oleh sebab itu, Pandu menyarankan agar warga tetap aktif melaporkan pasien lain yang dirawat atau meninggal akibat COVID-19. Informasi itu bisa disampaikan melalui akun media sosial atau ke media konvensional. Dengan begitu, publik bisa tetap waspada bahwa pandemik COVID-19 belum terkendali. 

"Jadi, kalau ada yang meninggal di jalan, di rumah, itu ekspos saja oleh warga," kata Pandu memberikan saran. 

2. Pemerintah ubah istilah PPKM Darurat menjadi PPKM berlevel karena khawatir menakuti publik

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Pandu Riono (Tangkapan layar Zoom Indikator Politik Indonesia)

Sementara, usai melakukan PPKM Darurat, pemerintah kembali mengubah istilah pembatasan aktivitas masyarakat menjadi PPKM Level 1 hingga 4. Informasi itu disampaikan kali pertama oleh Luhut ketika diwawancarai Kompas TV pada Selasa (20/7/2021). Istilah tersebut akan digunakan mulai 26 Juli 2021. 

Dalam pandangan Pandu, gonta-ganti istilah justru berbahaya bagi psikologis warga. Mereka menjadi tidak paham kebijakan apa yang tengah diberlakukan. 

"Publik akan bingung yang dimaksud level-level itu apa," kata Pandu. 

Ia menduga kali ini pemerintah mengganti istilah PPKM Darurat lalu beralih jadi level, karena kata "darurat" dianggap menyeramkan. "Padahal, pemerintah sendiri yang memilih menggunakan istilah PPKM Darurat," tuturnya lagi. 

Gonta-ganti istilah ini juga dikritik oleh ekonom senior, Faisal Basri. Melalui akun media sosialnya @FaisalBasri, ia mengaku bingung mengapa pemerintah tak kapok mengganti istilah untuk pembatasan pergerakan masyarakat. 

"Terus saja (pemerintah) melakukan hal yang serupa berulang-ulang sambil mendambakan hasil yang berbeda. Kata Einstein, itu wujud ketidakwarasan," demikian cuit Faisal pada hari ini. 

Baca Juga: PPKM Darurat Diperpanjang, Apa Bisa Turunkan Kasus COVID dalam 5 Hari?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya