Epidemiolog UI: Indonesia Sudah Lama dalam Kondisi Herd Stupidity
Baik pemerintah dan warga sama-sama abai protokol kesehatan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, menyentil cara penanganan pandemik COVID-19 meski sudah berlalu 1,5 tahun. Menurut Pandu, baik pemerintah maupun warga sama-sama sudah mengalami herd stupidity atau kebodohan bersama. Sebab, meski sudah berjibaku mengatasi pandemik COVID-19 selama 1,5 tahun tetapi tetap tidak ada pemahaman terhadap virus Sars-CoV-2 ini.
"Perilaku manusianya lah yang mendorong replikasi virus, memperbanyak diri, dan berubah menjadi lebih mudah menular. Manusia yang mendapat amanah jadi pejabat manusia-manusia lain justru tidak menampilkan perilaku 5M dan enggan divaksinasi," kata Pandu melalui akun Twitternya, @drpriono1, pada Minggu 20 Juni 2021.
IDN Times telah meminta izin kepada Pandu untuk mengutip kembali cuitan tersebut. Ia menjelaskan apa yang disampaikan melalui cuitan itu menggambarkan sindiran atas penanganan pandemik selama ini di Tanah Air.
Sejak awal, Pandu sudah tak mempercayai bisa tercipta herd immunity atau kekebalan komunal usai mayoritas warga sedang divaksinasi. Saat ini jumlah warga yang telah divaksinasi baru mencapai 23.043.372.
"Padahal, herd immunity itu hanya ilusi yang ada saat ini kita justru sudah lama berada dalam kondisi herd stupidity," ujarnya ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (21/6/2021).
Salah satu bentuk kebodohan komunal yang dimaksud Pandu yakni soal larangan mudik yang diberlakukan sebelum Idul Fitri 2021. Masyarakatnya sudah dilarang untuk mudik, tetapi masih pergi.
"Disangkanya aktivitas mudiknya yang menyebabkan penularan (COVID-19). Padahal, yang menyebabkan COVID-19 melonjak karena mobilitas penduduk dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat, dalam kurun waktu 2 minggu," tutur dia lagi.
Lalu, apa usulan dari Pandu agar lonjakan COVID-19 di Indonesia bisa dikendalikan?
Baca Juga: 1,5 Tahun Pandemik, Indonesia Belum Lewati Gelombang Pertama COVID-19
1. Kembali bekerja dari rumah dan rumah sakit hanya diprioritaskan bagi pasien sakit parah
Kepada IDN Times, Pandu secara blak-blakan mengatakan opsi lockdown atau pemberlakuan karantina wilayah sudah terlambat. Opsi itu masih relevan diberlakukan pada tahun 2020 ketika belum ditemukan mutasi baru corona.
Data Kementerian Kesehatan per 13 Juni 2021 mencatat, sudah ada 145 kasus mutasi virus SARS-CoV-2 yang tergolong 'Variant of Concern (VoC)' dan berhasil teridentifikasi di Indonesia berdasarkan hasil Whole Genome Sequence (WGS) secara berkala. Rinciannya, 36 kasus B117 Alfa, 5 kasus B1351 Beta, dan 104 kasus B1617.2 Delta.
Pandu pun mengaku tak yakin Jokowi berani mengambil kebijakan opsi lockdown. Ia tak ingin berandai-andai sehingga mengusulkan agar bisa kembali memperketat aktivitas masyarakat saja.
"Kementerian yang berada di Jakarta selama satu pekan ini ya work from home lah. Hal ini bisa untuk mengurangi pergerakan penduduk," kata Pandu.
Selain itu, ia mengimbau warga yang terpapar COVID-19 tak semuanya langsung ke rumah sakit. Biarkan rumah sakit menjadi prioritas bagi warga yang sakit parah.
"Jadi, mereka yang masuk rumah sakit hanya yang betul-betul butuh ventilator atau oksigen. Ya, tidak bisa isolasi mandiri. Jangan lupa untuk mengedukasi masyarakat dan isolasi mandiri," ujarnya lagi.
Editor’s picks
Sedangkan, warga yang sempat dirawat di rumah sakit, bila hasil antigennya sudah menunjukkan hasil negatif dapat pulang. Mereka kemudian melanjutkan isolasi mandiri di rumah karena sudah tidak lagi menularkan.
"Jadi, sekarang kita mengatur strategi, bagaimana cara bisa menampung orang-orang yang memang sekarat. Agar tingkat kematian tidak semakin meningkat," ungkapnya.
Baca Juga: Ribuan Orang Teken Petisi Minta Jokowi Segera Lockdown Atasi COVID-19