TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

ICJR: Dua Capres Tidak Menawarkan Solusi Dalam Isu Hukum dan HAM

ICJR bahkan memberikan nilai D untuk gagasan paslon

(Paslon saling bersalaman usai debat gelombang pertama) ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Jakarta, IDN Times - Organisasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) turut menyoroti hasil debat capres gelombang pertama yang digelar pada Kamis malam (17/1) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. Debat itu mengambil tema penegakan hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. 

Kedua paslon diberikan kesempatan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyampaikan visi dan misi mereka di hadapan ratusan juta pasang mata seandainya terpilih dalam pemilu 2019. Lalu, berapa skor yang diberikan oleh ICJR bagi kedua paslon? 

"Kedua paslon, saya beri nilai D," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju melalui pesan pendek kepada IDN Times pada Jumat pagi (18/1). 

Lho, mengapa Anggara memberikan nilai D? Ia menjelaskan kedua paslon tidak menjawab semua tantangan yang dihadapi di bidang hukum. 

"Ibaratnya mereka menjawab, tapi ngawur," kata dia lagi. 

Bahkan, menurut Anggara, baik kubu Jokowi maupun Prabowo tidak memberikan solusi dalam persoalan hukum terjadi di Indonesia. Apa yang menjadi dasar ICJR memberikan nilai D bagi jawaban yang muncul dari debat capres semalam? Berikut penjelasannya: 

Baca Juga: Jadi Perhatian saat Debat Capres, Adu Gaya Bu Iriana Vs Bu Nur Asia!

1. Kedua paslon tidak membahas tumpang tindih aturan di dalam kerangka hukum pidana

(Ilustrasi hakim) IDN Times/Sukma Shakti

Di dalam sesi pertanyaan dari panelis, ada beberapa isu yang dicatat oleh ICJR muncul. Pertama, mengenai sinkronisasi dan harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, kedua penegakan hukum dan HAM, ketiga, diskriminasi berdasarkan etnis, agama dan pandangan politik. Keempat, hak penyandang disabilitas, dan kelima, penegakan hukum terhadap pelaku teror. 

Sementara, di sesi tanya jawab antar paslon, isu yang mengemuka yakni soal keterwakilan perempuan, benturan kepentingan dan korupsi. 

Terkait, tumpang tindih aturan di Indonesia, dalam pandangan ICJR, kedua paslon luput membahas soal tidak harmonisnya aturan perundang-undangan dalam kerangka hukum pidana. Anggara menilai fenomena yang muncul saat ini, ada begitu banyak aturan yang memuat ancaman pidana tetapi malah bertentangan antara yang satu dengan lainnya. 

"Atau di dalam aturan itu malah memuat istilah yang berbeda-beda. Akibatnya orang lain yang bertumpu pada kebijakan itu, malah menjadi bingung dan tidak pasti," kata Anggara melalui keterangan tertulisnya pada pagi ini. 

Akibat tidak selarasnya aturan ini, justru menimbulkan adanya hak masyarakat yang tidak terpenuhi. Salah satu yang disoroti oleh ICJR yaitu pemenuhan hak korban tindak kejahatan. 

"Indonesia memang memiliki UU nomor 31 tahun 2004 mengenai perlindungan saksi dan korban, tetapi masih tersebar di berbagai undang-undang," tutur dia. 

Akibatnya korban tidak kejahatan malah tidak memperoleh haknya karena aturan yang ada justru tumpang tindih. Contoh nyatanya yakni pemerintah tidak lagi bersedia menanggung biaya korban kejahatan dengan menggunakan BPJS. 

"Padahal, di sisi lain pemenuhan hak korban masih jauh dari kata cukup," katanya lagi. 

Kedua paslon dinilai oleh ICJR tidak memberikan perhatian untuk membenahi regulasi pidana. Terbukti isu RKUHP tidak sedikit pun disinggung. 

2. Dalam isu penanganan terorisme, deradikalisasi saja tidak cukup

(Ilustrasi Terorisme) IDN Times/Sukma Shakti

Sementara, dalam isu untuk menanggulangi terorisme, ICJR menilai gagaran deradikalisasi saja tidak cukup. Mereka justru berpandangan akar permasalahan dari tindak terorisme ada di ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Namun, tidak ada satu pun dari kedua paslon itu yang menawarkan bagaimana cara untuk mengatasi ketidakadilan dan ketidaksetaraan tersebut. 

"Terorisme saat ini sudah menjadi masalah yang kompleks dan tidak lagi terbatas pada permasalahan perbedaan ideologi yang dianut," kata Anggara. 

Menurut mereka, apabila isu ketidakadilan dan ketidaksetaraan bisa diatasi secara perlahan, maka terorisme bisa dicegah. Pernyataan salah satu kubu yang menyebut penegakan hukum bisa tidak bertentangan dengan HAM pun diragukan. 

Sebab, di dalam UU Terorisme yang baru justru masih terbuka peluang terjadinya pelanggaran HAM. Di dalam UU tersebut tertulis terduga pelaku teror bisa ditahan tanpa surat dari pengadilan selama sekitar 21 hari. 

"Itu pun ditangkap tanpa bisa menghubungi siapa pun," kata dia. 

3. Perlu dilakukan pembenahan sistem untuk menciptakan proses peradilan yang adil

(Prabowo tengah dipijat oleh Sandiaga Uno) ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Sementara, paslon kubu nomor urut 01 sempat menyinggung soal fair trial yang ada di Indonesia. Justru di dalam pandangan ICJR, pada tingkat pelaksanannya di Tanah Air, nilainya masih rendah. Laporan Penilaian Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018, saat ini penilaian terhadap pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan masih rendah yakni 37,6 persen. 

Salah satu hak yang masih belum dipenuhi yaitu hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. 

"Selama ini tidak pernah ada proses pengujian terkait dengan alasan substantif mengapa seseorang harus ditahan. Selama ini penahanan dilakukan dengan syarat substantif mengacu ke Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan ancaman hukuman 5 tahun," tutur Anggara. 

Untuk membenahi sistem peradilan di Indonesia juga dibutuhkan penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dab ada adanya pengawasan berjenjang. Dengan begitu, maka bisa mengurangi sikap dari aparat penegak hukum yang bersikap sewenang-wenang. 

"Besarnya celah kuasa dan potensi kesewenang-wenangan tersebut membuka peluang korupsi yang selama ini jarang disentuh," kata dia. 

Baca Juga: Pendukung Prabowo-Sandi Nobar Debat Capres: "Janji Lagi, Janji Lagi"

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya