TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hasil Kunker Anggota DPR ke Ekuador Tak Bisa Jadi Masukan RUU PKS?

Sia-sia dong kunker ke luar negeri

Kunjungan anggota komisi I dan Badan Legislasi DPR ke Ekuador pada awal November 2021 (www.twitter.com/@AsambleaEcuador)

Jakarta, IDN Times - Meski sempat menuai kritik, tetapi sejumlah anggota Komisi I dan Badan Legislasi DPR memutuskan tetap melakukan kunjungan kerja ke Ekuador. Kunjungan tersebut dilakukan pada 31 Oktober 2021 hingga 6 November 2021.

Wakil Ketua DPR Lodewijk F. Paulus pernah mengatakan kunker di tengah pandemik COVID-19 tetap diperlukan agar Rancangan Undang-Undang Pidana Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak mendapatkan keluhan publik. 

Ekuador, kata Lodewijk dipilih sebagai lokasi tujuan kunker karena negara tersebut mampu mengimplementasikan undang-undang antikekerasan terhadap perempuan.

Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Muhammad Farhan, termasuk salah satu anggota legislatif yang ikut kunker. Ia berangkat bersama 11 anggota parlemen lainnya. 

Farhan menyebut kunjungan ke Ekuador dipimpin anggota Baleg, Willy Aditya. Ada beberapa poin yang dipelajari Farhan dan koleganya ketika berkunjung ke sana.

"Di sana dibolehkan perempuan korban pemerkosaan melakukan aborsi bila mereka hamil," kata Farhan ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Rabu (10/11/2021). 

Namun, kata Farhan, kebijakan itu tidak bisa dilakukan di Indonesia. Aborsi baru dapat dilakukan bila kehamilan dapat membahayakan nyawa sang ibu. Dia juga menyebut kebijakan tersebut dapat diberlakukan karena sistem negara di Ekuador sekuler. Di sana memisahkan antara urusan agama dan negara. 

Apa lagi yang dipelajari anggota DPR dari kunker tersebut?

Baca Juga: RUU PKS Memihak Korban Pelecehan Seksual, Tapi Tak Kunjung Disahkan

1. Pemerintah Ekuador telah berikan pendidikan kesehatan reproduksi dari level sekolah dasar

Ilustrasi Keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Farhan menjelaskan anggota DPR juga mempelajari bahwa di Ekuador, pendidikan kesehatan reproduksi telah diberikan sejak sekolah dasar hingga ibu rumah tangga. Ini menjadi pendidikan yang wajib diberikan. 

"Mereka masih mengalami kesulitan ketika sinkronisasi hukum-hukum menyangkut kekerasan seksual dengan institusi keagamaan, contohnya perkawinan sejenis," kata dia.

Farhan juga menyebut pernikahan sesama jenis telah diakui secara legal di Ekuador sejak 2015. Aturan hukum di sana menyebut pasangan sesama jenis yang memformalkan hubungannya memiliki hak yang sama seperti pasangan heteroseksual. Namun, mereka masih belum dibolehkan mengadopsi anak. 

Selain itu, Komnas HAM di Ekuador telah mengakui keberagaman seksual. Artinya, mereka mengakui jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan. 

"Mereka disebutnya queer, transeksual. Bahkan, mereka mengakui nonbinary juga," kata Farhan. 

Ia mengatakan anggota DPR tengah mempelajari apakah hal tersebut juga bisa diterapkan di Indonesia. Kebijakan semacam itu, kata Farhan, bisa diterapkan di Ekuador setelah melalui proses panjang. 

Di sisi lain, Ekuador telah mengakui 60 persen perempuannya menjadi korban tindak kekerasan seksual. Sebagian besar terjadi pada kaum perempuan penduduk asli.

2. Ekuador menerapkan prinsip restorative justice bagi pelaku kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Farhan menjelaskan Ekuador menerapkan sanksi yang bersifat restorative justice principle. Artinya, setelah pelaku dikenai sanksi, maka turut diberikan pembinaan secara psikologis. Tujuannya agar ia tidak mengulangi perbuatannya pada masa mendatang. 

"Makanya ia sering kali diberi label pedofil. Beberapa hak sipilnya dicabut, misalnya tidak boleh tampil di media, tak boleh menjadi pengajar. Hanya memiliki hak politik untuk memilih tetapi tak boleh dipilih," tutur pria yang pernah menjadi penyiar radio itu. 

Baca Juga: Plintat-plintut Baleg Kunker ke Ekuador-Brasil, Ini Kata Pimpinan DPR

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya